foto : Connie Rahakundini dan Henry Yosodiningrat, Ist
jakarta, LIRATV – Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi menilai pernyataan Connie Rahakundini dan Henry Yosodiningrat yang viral di media sosial pada hari pertama masa tenang sangat tendensius dan berbahaya.
Ia menduga bahwa Connie dan Henry sedang berupaya mengadu domba Jokowi dan Prabowo serta membenturkan rakyat dengan institusi Polri untuk kepentingan capres-cawapres yang didukungnya.
“Jelas tendensius dan politik pecah belah sangat berbahaya terutama di tahun politik yang tensinya memang sudah panas karena dapat menimbulkan kegaduhan, kerusuhan dan kekacauan yang akan berdampak pada terancamnya stabilitas di berbagai bidang,” kata R Haidar Alwi, Minggu (11/2/2024) malam.
Connie menceritakan pertemuannya dengan Ketua TKN Prabowo-Gibran, Rosan Roeslani yang mengungkap adanya potensi Jokowi mengkhianati atau bahkan membunuh Prabowo di tengah jalan seperti mengkhianati Megawati dan PDIP. Prabowo disebut hanya akan berkuasa selama dua tahun jika berhasil memenangkan Pilpres 2024. Selanjutnya, Gibran akan naik menjadi Presiden menggantikan Prabowo.
“Baru-baru ini kan ramai rakyat dibenturkan dengan Jokowi dan Prabowo-Gibran melalui protes para akademisi dan guru besar. Hasilnya mental, demo mahasiswa pun dapat diredam. Bahkan elektabilitas Prabowo-Gibran malah makin naik. Karena serangan dari luar gagal, makanya sekarang diserang dari dalam yaitu membenturkan Jokowi dan Prabowo dengan harapan memantik kebencian di antara kedua kubu sehingga dapat dengan mudah dikalahkan. Seperti politik divide et impera zaman kolonial,” tutur R Haidar Alwi.
Sedangkan Henry berbicara mengenai indikasi atau dugaan ketidaknetralan Polri di Pilpres 2024. Dalam video disebutkan Kapolri mengerahkan fungsi Binmas sebagai instrumen pemenangan pemilu untuk paslon Prabowo-Gibran.
“Narasi ketidaknetralan aparat memang kerap digaungkan oleh kubu pendukung capres-cawapres tertentu. Padahal Kapolri sudah berulangkali menegaskan bahwa institusinya netral. Presiden pun sering menyerukan agar ASN, TNI dan Polri menjaga netralitasnya di Pemilu nanti. Jadi apa yang disampaikan oleh Henry mungkin bentuk kepanikan kalau paslon yang didukungnya akan kalah. Tapi ini dapat mencoreng kewibawaan institusi Polri menggerus kepercayaan dan memupuk kebencian publik,” imbuh R Haidar Alwi.
Ironisnya, pernyataan Connie dan Henry disampaikan di depan para purnawirawan dalam acara Mimbar Keprihatinan Bangsa dan Seruan Purnawirawan TNI-Polri di Jakarta pada Jumat, 9 Februari 2024 dan diunggah oleh akun YouTube Kanal Anak Bangsa milik Rudi S Kamri.
“Purnawirawan TNI-Polri seharusnya berperan membantu bangsa dan negara menjadi jembatan komunikasi dan peredam konflik di masyarakat. Bukan malah menjadi bagian dari penciptaan konflik itu sendiri,” tegas R Haidar Alwi.
Belakangan ia mendapatkan informasi bahwa para purnawirawan yang hadir merupakan para pendukung kosong tiga. Salah satunya adalah mantan Kapolri Da’i Bachtiar yang pada akhir Juli 2023 bersama oknum purnawirawan sempat mendeklarasikan dukungannya terhadap Ganjar melalui acara yang diinisiasi oleh Relawan Gapura Nusantara – organ pemenangan Ganjar dalam Pilpres 2024.
Tidak jauh berbeda dengan narasumber yang diundang sebagai pembicara. Mulai dari Connie Rahakundini akademisi sekaligus pengamat militer dan pertahanan yang terindikasi sebagai pendukung Ganjar-Mahfud. Lalu, Henry Yosodiningrat yang notabene menjabat sebagai Wakil Deputi Hukum TPN Ganjar Mahfud. Kemudian, Ikrar Nusa Bhakti, mantan guru besar riset LIPI yang kontra dengan Jokowi. Selain itu, moderatornya Rudi S Kamri juga merupakan pendukung Ganjar-Mahfud.
“Peserta dan narasumbernya tidak berimbang. Jadi saya yakin ini acaranya memang acara pendukung Ganjar-Mahfud sehingga tujuannya sudah pasti untuk kepentingan Ganjar-Mahfud. Purnawirawan sebagai peserta dan akademisi sebagai narasumber hanya dijadikan kedok yang ditonjolkan agar kelihatannya seolah-olah netral. Padahal terafiliasi Ganjar-Mahfud,” kata R Haidar Alwi.
Oleh karena itu, R Haidar Alwi meminta masyarakat untuk tidak mudah terpengaruh oleh narasi atau informasi yang tidak jelas sumbernya atau hoaks dan sengaja disebarkan untuk menimbulkan kebencian kepada sesama maupun kepada penyelenggara negara.
“Aparat juga harus tegas menindak orang-orang yang berusaha mengacaukan pemilu dengan menyebarkan hoaks atau narasi kebencian agar menjadi pembelajaran bagi yang lainnya untuk tidak mengulangi hal yang sama ke depannya,” pungkas R Haidar Alwi. (Red/Bar)