JAKARTA – Pemahaman geopolitik Soekarno dalam konstelasi strategis sangat penting termasuk dalam melakukan perencanaan pembangunan nasional kita berdasarkan koridor strategis. Sebab pada tahun 1958 sudah dirumuskan rencana koridor-koridor strategis dengan kampus sebagai city of Intellect.
Demikian disampaikan dosen Ilmu Pertahanan (Unhan) RI Hasto Kristiyanto saat menjadi pembicara kunci di Seminar Nasional “Marwah Geopolitik dan Geostrategi dalam Arsip” yang digelar Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jakarta, Jumat (25/8/2023).
“Koridor strategis tadi sudah banyak ditinggalkan, padahal dulu kita merancang Universitas Pattimura sebagai city of intelect dalam membangun kekuatan oseonografi kekuatan terbesar di Asia. Jadi Pattimura itu pusat pengetahuan riset inovasi terkait oseonografi. Maka koridor strategis dari Indonesia timur menjadi kekuatan dalam kompartemen maritim kita,” kata Hasto.
Lalu, Institut Teknologi Bandung (ITB) sebagai pusat penelitian teknologi angkasa luar, teknologi nuklir, dan persenjataan serta industrialisasi di Indonesia. Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai pusat pembangunan kekuatan pangan sehingga Indonesia berdaulat di bidang pangan.
Dalam konteks pertahanan, lanjut Hasto, Angkatan Laut dipusatkan di Indonesia bagian timur kemudian angkatan udara berada di Kalimantan sebagai Ibu Kota Negara, Angakatan Darat berada di Jawa dan masing-masing ditopang oleh city of intelect dari perguruan tinggi, sehingga perguruan tinggi diangkat dengan konsepsi dalam membangun koridor-koridor strategis Indonesia sekaligus konsepsi tentang pertahanan negara.
“Hanya saja sayang sekali, konsepsi kesatupaduan antara the power of intelectual leadership ini dari perguruan tinggi tidak connect dengan kebijakan kebijakan pembangunan atas cara pandang geopolitik yang berdasarkan aspek-aspek geostrategis,” sebut Hasto.
“Betapa sedihnya ketika kita datang ke Aceh dari Sabang saya hanya melihat kapal-kapal besar itu melewati Sabang tanpa mendapatkan pemanfaatan bagi Sabang. Ketika datang ke Riau, selat Malaka sebenarnya secara geostrategis berada di dalam wilayah kita tetapi kenapa negara lain yang paling mendapat manfaat dan memegang kontrol atas selat Malaka,” lanjut Hasto.
Dia menyebut di Nusa Tenggara Timur (NTT) bisa dikembangkan sebagai pusat penggemukan peternakan sapi dan kampus IPB didorong untuk membuka cabangnya di NTT dalam mengembangkan geostrategis yang berdekatan dengan Australia.
Pada bagian lain, Hasto mengatakan dalam diplomasi luar negeri, perdagangan dan pertahanan bagi kepentingan nasional Indonesia harusnya mampu menciptakan hukum internasional bagi kepentingan nasional.
“Kita sering ditekan oleh Eropa terkait dengan CPO. Bagaimana komoditas strategis bisa menjadi instrument of national power bagi kepentingan nasional Indonesia? Jika Indonesia diperlakukan tidak adil, apakah kita memiliki kedaulatan nasional yang didukung oleh hukum internasional sehingga negara lain yang bersikap tidak adil tersebut lalu tidak bisa melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) kita, hingga Indonesia dan negara tersebut memiliki posisi yang sederajat bagi kepentingan nasional yang berkeadilan bagi kedua negara? Ini semua memerlukan kajian akademis,” sebut Hasto.