
Sandri Rumanama (Direktur Haidar Alwi Institut /Waketum PB SEMMI)
MAHKAMAH Konstitusi sebagai lembaga negara yang menjaga marwah Konstitusi belakangan ini terlihat sangat politis dalam beberapa putusan putusannya.
Di saat negara sedang menata kembali institusi Polri sebagai korps keamanan agar mampu bekerja lebih efesien dan efektif menjaga, mengayomi, dan melayani rakyat. Mahkamah Konstitusi justru melemahkan kinerja aparatur Polri sebagai agen sipil yang dipersenjatai untuk yang melarang anggota kepolisian aktif menduduki jabatan sipil.
Namun menurut kami keputusan Mahkamah Konstitusi ini justru inskonstitusional karena tidak memeliki landasan hukum sebagai determinasi putusan tersebut untuk dieksekusi, karena sampai saat ini polri masih menggunakan UU No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Selain itu putusan Mahkama Konstitusi itu hadir pada waktu yang tidak tepat dan justru bertentangan dengan aspirasi rakyat dan semangat negara. Sebab Presiden baru saja membentuk Tim Reformasi Polri untuk memperkuat profesionalisme, akuntabilitas, dan tata kelola institusi polri agar kepolisian semakin mampu mengemban amanat rakyat sebagai penegak hukum dan ketertiban masyarakat sipil.
Di tengah kehidupan bernegara dan berbagai kasus hukum dan kinerja aparatur sipil negara yang penuh tantangan saat ini, berbagai case kriminalitas yang terjadi diberbagai daerah.
Kasus diskrimintaif di kawasan pesisir, konflik komunal di daerah terluar dan terpencil, pelayanan publik yang tidak memadai di banyak tempat di negara ini. Serta perampasan tanah dan hak wilayah adat di pedesaan.
Negara sangat membutuhkan aparatur sipil yang disiplin, terlatih dan tegas dalam berbagai penindakan hukum untuk menata kehidupan sosial politik masyarakat Indonesia agar jauh lebih baik.

Selain itu dalam pandangan birokrat aparatur sipil yang terlatih justru memahami mekanisme pemerintahan, keamanan dan administratif karena ruang lingkup antara administratif kemananan, budaya pelayanan, dan penindakann hukum sudah tidak bisa dilepaspisahkan dari kehidupan sipil saat ini.
Pemisahan Polri dan TNI adalah amanat Konstitusi yang lahir dari perjuangan reformasi justru terkhianati oleh putusan Mahkama Konstitusi yang penuh anomali, disebabkan Polri sudah tidak dianggap sebagai element masyarakat sipil yang menjaga kemanan sipil, baik dari sisi pelayanan publik, administratif, birokrasi mau penindakan hukum yang bersifat regulatif.
Sejak pemisahan Polri dari TNI pasca 1998 menjadi bukti bahwa negara ingin membangun institusi keamanan sipil yang tidak militersitik yang berada di bawah kendali pemerintahan sipil yang demokratis.
Keputusan Mahkama Konstitusi ini sudah melampaui batas dari dimensi regulatif dan administratif karena element masyarakat sipil dan pilar demokrasi seperti institusi Polri justru tidak memiliki frasa dalam status sosial bernegara saat ini.
Selama kurung waktu 26 tahun Polri ditempatkan sebagai organ pemerintahan sipil yang menjalankan fungsi keamanan dalam negeri, ketertiban masyarakat, pelayanan publik dan penindakan hukum sehingga keterlibatan polisi dalam jabatan sipil sebenarnya berada dalam kerangka semangat reformasi dan sangat demokratis.
Ditengah kompleksitas persoalan sipil, kebutuhan rakyat di berbagai wilayah Indonesia memerlukan kinerja yang terorganisir dan terintegrasi dan keahlian ini dimiliki oleh aparatur sipil seprti kepolisian, sehingga polri bisa mengisi jabatan sipil merupakan tuntutan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia saat ini.
Hai pembaca setia! Temukan solusi media online Anda di 





