
Oleh: Ir. R. Haidar Alwi, MT. (Pemikir Bangsa, Dewan Pembina Ikatan Keluarga Alumni Institute Teknologi Bandung/ITB)
SELAMA setengah abad, dunia hidup di bawah bayang sistem petrodolar, sebuah kesepakatan tak tertulis antara minyak dan uang yang menjadikan dolar Amerika sebagai darah ekonomi global.
Namun, sejak dua tahun terakhir, sistem itu mulai kehilangan denyutnya. Arab Saudi membuka transaksi minyak dalam yuan, rupee, dan emas, sementara bank sentral dunia menimbun logam mulia sebagai sandaran baru nilai tukar.
Bahwa yang sedang terjadi bukan sekadar pergeseran ekonomi, tetapi perubahan kesadaran peradaban.
Petrodolar bukan hanya sistem transaksi energi, tapi juga simbol ketergantungan global pada ilusi nilai. Kini, ilusi itu retak, dan dunia sedang mencari makna baru dari apa yang disebut ‘kekayaan’.
Dunia Lepas dari Bayang Dolar.
Kisah ini bermula pada tahun 1971 ketika Presiden Richard Nixon memutus hubungan dolar dengan emas, mengakhiri sistem Bretton Woods.
Tiga tahun kemudian, Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger menjalin kesepakatan dengan Arab Saudi: seluruh minyak dunia dijual dalam dolar Amerika.
Sebagai imbalan, Washington memberi jaminan keamanan dan akses militer. Sejak itulah lahir sistem yang dikenal sebagai petrodollar order.
Selama 50 tahun, sistem ini membuat dolar menguasai dunia tanpa harus bertumpu pada produksi. Negara-negara lain menimbun dolar untuk membeli energi, sementara Amerika mencetak uang dengan mudah tanpa kehilangan kepercayaan internasional.
Kini keadaan berubah. Sejak 2023, Arab Saudi dan negara-negara BRICS memperluas penggunaan mata uang lokal dan mempercepat pembelian emas.
Data IMF COFER mencatat, porsi dolar dalam cadangan devisa global turun dari 73 persen di awal 2000-an menjadi sekitar 57 persen pada pertengahan 2025.
Sementara World Gold Council melaporkan pembelian emas bank sentral dunia mencapai lebih dari 1.000 ton per tahun selama dua tahun terakhir, level tertinggi sejak 1967.
Perubahan ini bukan sekadar angka ekonomi, melainkan tanda pergeseran kesadaran dunia.
Ketika kepercayaan menjadi satu-satunya fondasi uang, maka saat kepercayaan itu retak, seluruh sistem akan mencari pijakan baru.
Petrodolar tidak runtuh dalam satu malam, tapi kehilangan maknanya setiap kali sebuah transaksi energi tidak lagi memakai dolar.
Indonesia di Persimpangan Global.
Dunia memang berubah, tetapi bagi Indonesia perubahan ini justru membawa peluang besar. Indonesia memiliki semua elemen yang dibutuhkan untuk memasuki era ekonomi baru: tanah subur, cadangan emas, dan posisi strategis di jalur perdagangan global.
Ketika dunia beralih dari kertas ke nilai nyata, Indonesia seharusnya tampil sebagai poros baru ekonomi Asia Tenggara. Kita memiliki apa yang dunia cari: pangan, energi, dan kestabilan.

Data Bank Indonesia menunjukkan cadangan devisa nasional pada Oktober 2025 mencapai sekitar 140 miliar dolar AS, cukup untuk menutup enam bulan impor dan pembayaran utang luar negeri.
Inflasi terkendali di bawah 3,5 persen, dan nilai rupiah relatif stabil di tengah ketidakpastian global. Maka perlu diingat bahwa angka makro tidak cukup tanpa arah moral ekonomi.
Angka adalah hasil, bukan tujuan. Negara besar bukan yang stabil angkanya, tapi yang kuat nilainya. Kedaulatan ekonomi tidak lahir dari neraca, tapi dari kesadaran.
Tantangan Baru bagi Purbaya di Era Prabowo.
Dalam konteks nasional, peran penting Purbaya Yudhi Sadewa dalam menjaga keseimbangan fiskal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Masa transisi global ini menjadi ujian terbesar bagi para penjaga ekonomi bangsa.
Saya percaya Pak Purbaya memahami bahwa kekuatan ekonomi tidak hanya diukur dari angka, tapi dari arah. Di tangan beliau, keseimbangan antara keberanian politik dan disiplin fiskal akan diuji.
Keberanian tanpa kebijakan berisiko menjadi gejolak, tapi kebijakan tanpa keberanian hanya melahirkan stagnasi.
Kebijakan Presiden Prabowo memperkuat fondasi ekonomi nasional, mulai dari hilirisasi sumber daya, kemandirian pangan, hingga pertahanan, adalah langkah sejarah. Namun langkah besar itu harus dijaga dengan keseimbangan fiskal dan strategi yang jernih.
Pak Prabowo membawa energi perubahan, dan Pak Purbaya membawa nalar keseimbangan. Jika keduanya bersatu dalam visi yang sama, maka Indonesia bukan hanya selamat dari badai global, tetapi justru memimpin arah ekonomi dunia baru.
Dari Uang Kertas ke Nilai Nyata.
Masa depan ekonomi dunia bukan lagi soal mencetak uang, tetapi tentang menciptakan nilai. Bangsa yang menggantungkan kekayaannya pada angka akan kehilangan arah ketika sistem bergeser.
Bangsa yang sibuk menghitung tidak akan sempat menanam. Tapi bangsa yang berani menanam nilai akan memanen masa depan.
Sangat penting membangun ekonomi berbasis produksi rakyat, menguatkan sektor pertanian, memperluas kepemilikan emas nasional, dan mengembangkan industri energi bersih. Inilah cara untuk mengubah kemandirian ekonomi dari slogan menjadi kenyataan.
Bangsa ini telah diberi karunia yang tidak terhitung, tanah yang kaya, laut yang luas, dan manusia yang tangguh. Kini saatnya kekayaan itu tidak hanya ditambang, tapi dimaknai.
Kesadaran Baru di Tengah Runtuhnya Sistem Lama.
Petrodolar memang telah kehilangan kekuasaannya, tapi kesadaran bangsa jangan ikut padam. Dunia kehilangan sistem lamanya, namun Indonesia tidak boleh kehilangan jiwanya.
Selama rakyat negeri ini masih memiliki tanah untuk ditanami, laut untuk dilayari, dan keyakinan untuk bekerja, maka tidak ada kekuatan ekonomi global yang mampu menjatuhkan rupiah. Karena nilai sejati ekonomi bukan pada uang, tapi pada kesadaran.
Hai pembaca setia! Temukan solusi media online Anda di 





