Oleh: Dwi Taufan Hidayat
MENGANTRI, bukan sekadar berdiri berbaris menunggu giliran, bukan sekadar menghitung langkah atau menakar jarak ke konter pembayaran.
Ia adalah tafsir panjang tentang kejujuran,
adalah jantung kecil yang berdegup menahan hasrat bergegas,
adalah kitab tak tertulis yang mengajari manusia menekuk ego
seperti daun yang melipat diri saat hujan.
Apa artinya deret angka di papan tulis,
jika lututmu gemetar saat hak orang lain kau injak?
Apa artinya logaritma, integral, rumus-rumus tak terhingga,
jika sabar hanya jadi dongeng yang kau baca setengah hati?
Matematika bisa kau pelajari semalam suntuk,
tetapi etika tumbuh perlahan,
di setiap detik, di setiap urat nadi yang berusaha belajar diam.
Mengantri adalah seni bersepakat dengan waktu,
menggenggam sabar seerat menggenggam pulpen di ujian akhir.
Di sini, anak-anak belajar tentang siang yang beranjak senja,
belajar bahwa setiap langkah punya giliran,
setiap orang punya ruang untuk menjadi duluan.
Mengantri adalah puisi panjang yang menetes dari keringat,
adalah harmoni yang lahir dari denyut kesetaraan.
Tak ada gelar, tak ada jabatan,
tak ada nama besar yang bisa memotong barisan tanpa menoreh luka di hati lain.
Di sinilah anak-anak belajar:
bahwa jika ingin di depan, maka berangkatlah lebih awal,
bahwa jika tiba terakhir, maka rasakan konsekuensi sebagai bentuk keadilan.
Mengantri bukan hanya ajang menahan lapar di kantin,
bukan hanya kesuntukan di loket tiket,
ia adalah manajemen batin:
belajar menghalau resah,
belajar memungut sabar,
belajar mendengar napas orang lain yang juga menanti harap.

Sungguh, lebih baik seorang anak lupa persamaan kuadrat,
daripada lupa bagaimana menunduk pada giliran.
Lebih baik keliru menghitung median,
daripada keliru menilai batas sabar dalam masyarakat.
Di negeri ini, kita sering diajari mencuri ruang,
diberi izin untuk โasal cepatโ tanpa tanya siapa yang terinjak.
Anak-anak digiring menjadi licik sejak dini,
diumpankan taktik daripada integritas,
dibisikkan serobotlah, pura-pura tuli, pura-pura bodoh!
Lalu kita terkejut:
Mengapa korupsi tumbuh gemuk?
Mengapa suap menjadi lelucon sehari-hari?
Mengapa politisi berkhianat tanpa rasa malu?
Bukankah semua dimulai dari satu antrian yang dicuri?
Dari satu giliran yang diterobos?
Dari satu rasa malu yang dibungkam oleh tipu daya?
Maka, ajarkan anakmu berdiri berbaris,
ajarkan ia menunggu, walau langkahnya gemetar,
walau matanya mencari-cari alasan untuk mendahului.
Biarkan ia belajar rasa malu sebagai paku penguat jiwa,
biarkan ia menyulam sabar sebagai pakaian sehari-hari.
Sebab jika sabar telah tumbuh di dada,
tak ada gelap yang tak bisa ia lalui,
tak ada hak orang lain yang berani ia rampas.
Dan pada akhirnya, mengantri bukan sekadar tertib berdiri,
ia adalah doa panjang yang bergema di antara napas manusia,
mengajarkan kita menaklukkan dunia,
bukan dengan serobotan,
tapi dengan langkah pelan yang penuh hormat,
seperti cinta yang tumbuh di taman hati,
semudah kata cinta,
tetapi setajam nurani.