Jakarta, LiraTV.id – Pemikir kebhinekaan Sukidi menitipkan harapan kepada hakim Mahkamah Konstitusi (MK) bisa menyelamatkan demokrasi di Indonesia dari kematian.
Caranya, kata peraih doktoral University Harvard itu, para hakim MK mengedepankan kenegarawanan dalam memutuskan perkara Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) untuk pilpres 2024.
Sukidi berkata demikian saat menjadi narasumber acara Sidang Pendapat Rakyat untuk Keadilan Pemilu 2024 yang dilaksanakan di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (19/4/2024).
“Yang Mulia hakim MK, saya sebagai Warga Negara Indonesia menitipkan suatu harapan biar seluruh hakim MK dijiwai spirit kenegarawanan untuk menyelamatkan Konstitusi dan demokrasi dari kerusakan dan kepunahan,” kata dia, Jumat.
Dia menyebut para hakim MK sebagai penjaga konstitusi, punya amanah mulia untuk menjaga peraturan negara dari kerusakan yang makin parah.
“Kerusakan Konstitusi itu tercermin pada proses legitimasi nepotisme yang terjadi di MK itu sendiri, karena itu Yang Mulia saya mengajak kepada Yang Mulia untuk kembali ke jalan yang lurus, jalan siritol mustaqim yang diridai Tuhan untuk menegakan kembali muruah MK untuk menegakan konstitusi yang memberikan asas kemanfaatan bagi seluruh rakyat Indonesia,” kata pria berkacamata itu.
Sukidi juga berharap para hakim MK dalam memutuskan hasil PHPU untuk pilpres 2024 bisa mengurai akar masalah secara komprehensif.
Menurutnya, akar masalah dalam pilpres 2024 sudah diuraikan oleh putri Proklamator RI Soekarno atau Bung Karno, Megawati Soekarnoputri, yakni penyalahgunaan kekuasaan oleh pemimpin negara.
“Akar masalah pilpres adalah apa yang disuarakan oleh putri Proklamator RI dan pendiri RI Megawati Soekarnoputri sebagai nepotisme dan dugaan penyalahgunaan kekuasaan oleh presiden. Inilah akar masalah utama yang disuarakan secara jernih oleh Bu Megawati. Nepotisme dan dugaan penyalahgunaan kekuasaan oleh presiden,” ujarnya.
“Putusan MK nomor 90 tahun 2023 adalah praktik nepotisme yang melibatkan Ketua MK, Presiden dan putra mahkotanya,” ungkap Sukidi.
Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah itu melanjutkan praktik nepotisme oleh Jokowi sebenarnya melanggar TAP MPR Nomor 9 Tahun 1998, melanggar UU Nomor 28 Tahun 1999, dan TAP MPR Nomor 8 Tahun 2001 yang menuntut penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN.
“Atas dasar itu, presiden patut diduga kuat telah melanggar Konstitusi, yaitu sumpah dan janji presiden untuk memegang teguh UUD dan menjalankan segala UU dan peraturannya dengan segala rules sesuai UU 1945 pasal 9. Pelanggaran atas sumpah dan janji presiden yang termaktub dalam Konstitusi adalah bentuk pelanggaran konstitusional yang berimplikasi pada keharusan adanya proses pemakzulan presiden,” ujar Sukidi.
“Nepotisme itu bukan hanya pelanggaran terhadap Kontitusi atau ketetapan MPR, tetapi juga pelanggaran terhadap sumpah presiden untuk selalu menjujung tingggi UU dan segala peraturannya,” ungkapnya.