
Jakarta, LIRATV.ID— Perjuangan panjang Duli Yang Maha Mulia Sri Paduka Baginda Berdaulat Agung Prof. Dr. M.S.P.A. Iansyah Rechza FW, Ph.D., Maharaja Kutai Mulawarman, dalam menguatkan kedudukan hukum (legal standing) Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam proses pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi (MK), kini memasuki fase krusial. Setelah melalui kajian akademik, verifikasi yuridis, serta penguatan dasar konstitusional, perjuangan ini kini menanti ketuk palu politik hukum dari DPR RI sebagai pemegang mandat legislasi bangsa.
Dalam konteks sejarah Indonesia, masyarakat adat telah hadir jauh sebelum negara ini berdiri. Namun dalam praktik ketatanegaraan modern, tidak seluruh masyarakat adat otomatis diakui sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang memiliki kedudukan hukum untuk memperjuangkan hak konstitusionalnya melalui Mahkamah Konstitusi. Ketimpangan inilah yang sejak awal diperjuangkan secara konsisten oleh Maharaja Kutai Mulawarman.
Secara yuridis, syarat legal standing bagi masyarakat hukum adat tergolong sangat berat, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, ditambah dengan lima syarat kerugian konstitusional berdasarkan yurisprudensi MK. Hingga hari ini, hampir tidak ada kesatuan masyarakat adat yang berhasil lolos sebagai pemohon pengujian undang-undang karena kerasnya konstruksi hukum tersebut.
Selain itu, ketiadaan kejelasan tipologi dan ukuran kesatuan masyarakat hukum adat juga telah lama menjadi problem serius dalam sistem hukum nasional. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 memang telah menafsirkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, namun dalam praktik implementasi, pengakuan tersebut masih kerap bersifat administratif, sektoral, bahkan tereduksi oleh kebijakan daerah.
Dari Perda Kutai Kartanegara Menuju Undang-Undang Nasional
Jauh sebelum isu masyarakat hukum adat mengemuka di tingkat nasional, Maharaja Kutai Mulawarman telah memulai perjuangan sejak awal tahun 2000-an melalui lahirnya Peraturan Daerah (Perda) Kutai Kartanegara tentang Lembaga Adat dan Masyarakat Adat, yang tercatat sebagai salah satu Perda pertama di Indonesia yang secara eksplisit mengatur eksistensi masyarakat hukum adat. Pada saat banyak kabupaten dan daerah lain belum memiliki regulasi serupa, langkah tersebut menjadi tonggak sejarah hukum adat modern di Indonesia.
Pada masa itu, kepala adat di Indonesia masih sangat terfragmentasi, bahkan di banyak wilayah hanya dikenal dalam lingkup komunitas tertentu seperti Dayak. Maharaja Kutai Mulawarman menjadi salah satu pelopor kepala adat yang mendorong pengakuan hukum adat ke dalam sistem pemerintahan formal melalui regulasi daerah.
Perda tersebut kemudian menjadi modal dasar bagi lahirnya wacana pembentukan regulasi nasional, dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) hingga dorongan menuju Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat. Dalam perjalanan itu, berbagai kajian akademik, pengujian teoritik, dan telaah yuridis pun dilakukan oleh para pakar hukum tata negara.
Namun, proses legislasi tidak akan bergerak tanpa ada pihak yang secara aktif mempertanyakan, mendorong, dan menguji di Mahkamah Konstitusi. Tanpa adanya dorongan tersebut, problem hukum adat akan terus dibiarkan menggantung. Dari sinilah perjuangan konstitusional Maharaja Kutai Mulawarman memperoleh relevansi nasional.
Klarifikasi Resmi Mahkamah Konstitusi
Sebagai bagian dari ikhtiar konstitusional tersebut, Kerajaan Pantun Bendang Pemangku Adat Kutai Mulawarman secara resmi telah mengajukan permohonan klarifikasi kepada Mahkamah Konstitusi RI terkait dokumen ilmiah dasar legal standing masyarakat adat. Permohonan tersebut dijawab melalui Surat Mahkamah Konstitusi RI Nomor 3594/HP.10/08/2024 tertanggal 9 Agustus 2024, yang menegaskan bahwa:

1. Penelitian berjudul “Dasar Pertimbangan Yuridis Kedudukan Hukum (Legal Standing) Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Proses Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi” adalah dokumen resmi hasil penelitian Peneliti MK tahun 2011.
2. Dalam dokumen tersebut ditegaskan bahwa pengaturan kesatuan masyarakat hukum adat tidak dapat didelegasikan kepada peraturan daerah, karena UUD 1945 secara tegas memerintahkan pengaturannya melalui undang-undang.
3. Dokumen tersebut telah dipublikasikan secara resmi melalui laman mkri.id, sehingga memiliki legitimasi hukum sebagai rujukan negara.
Klarifikasi ini semakin menegaskan bahwa pengakuan, perlindungan, dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat tidak boleh terus dibiarkan tanpa payung undang-undang nasional yang kuat dan mengikat.
MAI Menjadi Garda Terdepan Jika UU Masyarakat Adat Ditetapkan
Dengan lahirnya Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat di masa depan, maka Majelis Adat Indonesia (MAI) akan memiliki dasar hukum nasional yang kuat sebagai majelis tinggi adat. Dengan payung hukum tersebut, MAI tidak lagi bergerak dalam wilayah sosial semata, melainkan sebagai lembaga adat nasional yang sah secara konstitusional, serta menjadi garda terdepan dalam menjaga, melindungi, dan menegakkan adat di seluruh Nusantara.
Maharaja Kutai Mulawarman secara tegas menyatakan mendukung penuh MAI, karena keberadaan MAI adalah bagian langsung dari hasil perjuangan panjang menuju undang-undang masyarakat hukum adat. Tanpa undang-undang tersebut, pembentukan dan kekuatan MAI akan terus menghadapi tantangan hukum yang berlarut-larut dan memakan waktu bertahun-tahun lagi.
Menanti Ketuk Palu DPR RI
Hingga saat ini, mengenai ketuk palu DPR RI sebagai lembaga legislatif, belum ada kepastian waktu karena proses tersebut belum diformalkan menjadi undang-undang. Apabila telah ditetapkan, niscaya akan segera dilakukan sosialisasi secara nasional. Oleh sebab itu, publik kini menanti dengan penuh harap keputusan politik hukum negara.
Maharaja Kutai Mulawarman menegaskan bahwa perjuangan ini bukan untuk kepentingan kerajaan atau kelompok tertentu, melainkan untuk memastikan bahwa seluruh kesatuan masyarakat hukum adat di Nusantara memiliki akses yang adil terhadap keadilan konstitusional, termasuk hak untuk menguji undang-undang yang merugikan hak-hak tradisional, wilayah adat, dan jati diri budaya bangsa.
Kini, seluruh mata tertuju pada DPR RI. Ketuk palu DPR akan menjadi penanda sejarah: apakah negara benar-benar hadir untuk masyarakat adat, atau kembali membiarkan mereka berjalan dalam lorong gelap ketidakpastian hukum.
Perjuangan ini adalah perjuangan konstitusi, sejarah, dan martabat bangsa. (Redsus)
Hai pembaca setia! Temukan solusi media online Anda di 





