
Jakarta, LiraTV.id – Pemikir Bangsa dan Dewan Pembina Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Institute Teknologi Bandung (ITB), Ir. R Haidar Alwi, mengungkapkan bahwa bangsa yang matang bukan sebatas taat hukum, juga harus mampu membaca setiap perubahan hukum sebagai bagian dari proses besar menjaga keberlangsungan negara.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatasi penugasan anggota Polri aktif di jabatan sipil adalah contoh nyata, bagaimana negara sedang menata kembali batas-batas perannya.
Namun Haidar Alwi menilai, putusan ini tidak boleh dijalankan secara tergesa-gesa tanpa memperhitungkan stabilitas pemerintahan.
“Hormati putusan MK, tetapi jangan jalankan hukum dengan cara memutus aliran nadi birokrasi. Negara harus dijaga, bukan diguncang,” tegas Haidar Alwi.
Untuk memahami persoalan ini, Haidar Alwi menekankan pentingnya melihat konteks besarnya terlebih dahulu.
Penugasan anggota Polri di jabatan sipil tidak muncul sebagai kebiasaan birokrasi semata; ia tumbuh dari kebutuhan negara yang memerlukan keahlian teknis kepolisian dalam berbagai lembaga.
Di banyak tempat, Polri menjadi tulang punggung bagi koordinasi keamanan, penanganan krisis, hingga jabatan teknis yang menuntut disiplin tinggi.
Karena itu, ketika MK mengeluarkan putusan pembatasan, dampaknya tidak hanya menyentuh aspek hukum, tetapi menyentuh stamina administrasi negara.
Fondasi Konstitusional: Pasal 28 Ayat (3) dan Dualisme Penafsiran
Akar persoalan sebenarnya terletak pada konstruksi hukum yang sudah lama berjalan. Pasal 28 Ayat (3) UU No. 2 Tahun 2002 menyatakan bahwa anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan sipil apabila mengundurkan diri atau pensiun.
Namun Penjelasan Pasal membuka celah yang memungkinkan penugasan berdasarkan keputusan Kapolri. Dualisme antara aturan baku dan penjelasan inilah yang selama lebih dari dua dekade menciptakan multitafsir dalam birokrasi.
MK kemudian menutup celah ini dengan menghapus ruang penugasan di penjelasan pasal. Secara yuridis, langkah MK dipahami sebagai penegasan supremasi batang tubuh pasal.
Haidar Alwi menekankan bahwa persoalan hukum harus dibaca dalam konteks negara.
“Hukum tidak boleh dibaca sebagai teks yang berdiri sendiri. Ia harus dibaca dalam kaitannya dengan fungsi negara,” ujar Haidar Alwi.
Tanpa memahami relasi itu, keputusan hukum bisa menimbulkan guncangan administratif.
Polri sebagai Institusi Sipil: Aset Negara yang Mesti Dilindungi
Sejak pemisahan TNI–Polri tahun 1999, Polri ditetapkan sebagai institusi sipil yang menjalankan fungsi keamanan dalam sistem pemerintahan.
Artinya, secara konsep, Polri bukan entitas asing dalam struktur sipil. Keberadaan personel Polri dalam jabatan sipil mencerminkan kebutuhan negara terhadap kapasitas profesional mereka.

Banyak jabatan teknis, dari pengamanan proyek strategis hingga penanganan bencana, sangat bergantung pada kemampuan operasional Polri.
Karena itu Haidar Alwi menilai bahwa implementasi putusan MK tidak boleh mengorbankan fungsi Polri dalam ekosistem pemerintahan.
“Polri bukan pihak yang harus dihukum. Polri adalah institusi yang menopang negara dari bawah sampai atas. Jika ada aturan yang kabur, aturan itu yang harus diperbaiki, bukan Polri yang harus kehilangan perannya,” ungkapnya.
Haidar Alwi tidak menolak putusan MK, tetapi ia menolak penerapan tanpa transisi. Tanpa pedoman jelas, negara bisa mengalami kekosongan jabatan, melambatnya koordinasi, dan terganggunya program strategis yang membutuhkan keahlian kepolisian.
Tugas Negara: Harmonisasi oleh Presiden Prabowo dan Kepastian Regulasi bagi Polri
Dalam situasi seperti ini, Haidar Alwi menilai pemerintah Presiden Prabowo Subianto memiliki posisi paling strategis. Putusan MK tidak boleh dibiarkan menggantung tanpa kebijakan lanjutan. Negara harus mengambil langkah cepat dan terukur.
Pertama, pemerintah dan DPR harus mempercepat revisi Pasal 28 dan penjelasannya agar tidak lagi multitafsir.
Kedua, Presiden Prabowo harus menerbitkan Peraturan Presiden masa transisi, yang menjamin jabatan strategis tidak kosong tiba-tiba.
Ketiga, Kapolri perlu mengeluarkan pedoman internal sehingga anggota Polri memiliki kepastian hukum dan tidak terjebak dalam ketidakjelasan status administratif.
Haidar Alwi menekankan bahwa langkah-langkah ini bukan sekadar teknis, tetapi esensial bagi keutuhan negara.
“Presiden harus hadir memberi arah, Kapolri harus menjaga soliditas, DPR harus menjembatani. Negara tidak boleh dibiarkan gamang di tengah perubahan hukum,” ujar Haidar Alwi.
Hormati MK, Jaga Polri, dan Pastikan Negara Tetap Tegak
Haidar menegaskan bahwa bangsa yang kuat adalah bangsa yang mampu membangun keseimbangan antara hukum dan stabilitas.
Putusan MK wajib dihormati. Polri wajib dijaga. Dan negara wajib memastikan bahwa implementasi hukum tidak merusak ritme pemerintahannya.
Dengan tegas Haidar Alwi mengatakan: Menjunjung putusan MK adalah kewajiban. Menguatkan Polri adalah kebutuhan. Menjaga negara tetap stabil adalah amanat konstitusi.
“Jangan ada satu pun yang dikorbankan, Indonesia terlalu besar untuk diguncang oleh tafsir tanpa kebijaksanaan. Hukum harus menguatkan negara, bukan melemahkannya.” pungkas Haidar Alwi.
Hai pembaca setia! Temukan solusi media online Anda di 





