Jakarta, LiraTV.id – R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, memandang bahwa inti dari keberhasilan pemerintahan terletak pada ketenangan hidup rakyatnya.
Dalam pandangannya, kemajuan ekonomi tidak dapat diukur semata dari angka pertumbuhan atau besarnya investasi, melainkan dari rasa aman masyarakat ketika memenuhi kebutuhan pokok tanpa rasa takut terhadap lonjakan harga.
Bagi Haidar, kemakmuran sejati bukan sekadar statistik di meja birokrat; tanggung jawab pemerintah sejati adalah menenangkan rakyat dengan kepastian hidup yang adil.
Haidar percaya, tugas negara bukan hanya menciptakan kebijakan, tetapi menghadirkan ketenteraman dalam kehidupan rakyat sehari-hari.
Sebab negara yang kehilangan empati terhadap kesulitan warganya sejatinya sedang kehilangan arah moral.
Haidar mengingatkan negara selalu diuji bukan di podium, melainkan di meja makan rakyat, di tempat di mana keadilan ekonomi menjelma menjadi kenyataan atau justru kekecewaan.
Kebijakan besar apa pun akan kehilangan makna jika tidak mampu menjamin ketenangan hidup rakyat.
Karena itu, Haidar menempatkan kesejahteraan sebagai pusat moral pembangunan nasional.
Menurutnya, rakyat yang masih resah dengan harga bahan pokok adalah tanda bahwa sistem ekonomi belum berpihak kepada mereka yang paling membutuhkan.
Jika keresahan itu dibiarkan, maka seluruh kemajuan yang dibanggakan akan berdiri di atas pondasi yang rapuh.
Negara Diuji di Meja Makan Rakyat.
Bagi Haidar Alwi, pangan bukan sekadar urusan pertanian, tetapi urusan kedaulatan dan keberlangsungan bangsa.
Data Badan Pusat Statistik mencatat produksi beras Indonesia tahun 2025 mencapai lebih dari 35 juta ton, angka tertinggi dalam tiga tahun terakhir. Namun harga di tingkat konsumen masih fluktuatif.
Haidar menilai persoalan sesungguhnya bukan di sawah atau di petani, melainkan pada rantai distribusi yang panjang dan lemahnya pengawasan pasar.
Negara harus hadir bukan hanya ketika krisis datang, tetapi setiap hari, memastikan rakyat tidak menjadi korban permainan harga oleh segelintir pelaku pasar.
Negara wajib menjaga pasar agar tetap hidup namun tidak liar; mendorong kompetisi, namun tidak membiarkan rakyat dimakan oleh spekulasi.
Dalam pandangannya, ekonomi tanpa etika akan melahirkan ketimpangan yang berujung pada ketidakadilan sosial.
“Negara tidak dinilai dari besarnya gedung atau banyaknya proyek, tetapi dari seberapa tenang rakyatnya makan tanpa takut harga naik. Bila dapur rakyat gelisah, maka sesungguhnya hati negara sedang kehilangan arah.”
“Ukuran keberhasilan pemerintahan adalah ketenangan rakyat kecil dalam memenuhi kebutuhan pokoknya, bukan pujian terhadap pertumbuhan ekonomi di layar televisi,” kata Haidar.
Haidar mengingatkan bahwa Pasal 33 UUD 1945 harus kembali menjadi arah utama perekonomian nasional.
Ayat demi ayat dalam pasal itu bukan sekadar teks hukum, tetapi amanat moral agar negara menjaga hajat hidup rakyat banyak.
Bagi Haidar, di situlah letak tanggung jawab pemerintah yang sejati: memastikan cabang-cabang produksi penting bagi rakyat tidak dikendalikan oleh segelintir elite ekonomi, melainkan dijalankan dengan semangat gotong royong demi kesejahteraan bersama.
Kemandirian Sebagai Arah Besar Pemerintahan Prabowo.
Haidar melihat bahwa pemerintahan Prabowo Subianto telah menapaki arah yang benar dengan menjadikan kemandirian pangan dan energi sebagai prioritas utama.
Ia menilai kebijakan itu bukan sekadar program ekonomi, melainkan kelanjutan dari semangat berdikari yang diwariskan para pendiri bangsa.
Prabowo, menurut Haidar, tengah membangun pondasi agar Indonesia tidak mudah diombang-ambingkan oleh tekanan global maupun ketergantungan impor.

Haidar Alwi meyakini, di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, arah kemandirian nasional itu menemukan jalannya yang paling realistis sekaligus paling berdaulat.
Ia menilai, Prabowo sedang menghidupkan kembali semangat Pasal 33 UUD 1945 dalam kebijakan nyata: menempatkan rakyat sebagai pusat kebijakan ekonomi, bukan sekadar objek pembangunan.
Namun Haidar juga menegaskan bahwa keberhasilan sejati tidak ditentukan oleh besar proyek atau panjang pidato, melainkan oleh keberlanjutan moral dalam setiap langkah kebijakan.
Pemerintah boleh kuat secara politik, tapi harus tetap lembut terhadap rakyatnya. Kemandirian bukan berarti menutup diri dari dunia, melainkan berdiri tegak dengan prinsip dan kemampuan sendiri.
Dan di tengah upaya besar itu, Haidar menilai bahwa semangat kemandirian harus diperluas ke sektor paling strategis: energi.
“Dukung pemerintah bukan berarti membenarkan semua kebijakan. Dukung pemerintah berarti ikut menjaga nurani kebangsaan agar arah pembangunan tetap berpihak kepada rakyat kecil.”
“Kritik yang jujur adalah bentuk tertinggi dari kesetiaan, karena cinta tanah air menuntut keberanian untuk menegur ketika negara mulai jauh dari rakyatnya,” tegas Haidar Alwi.
Dalam hal energi, Haidar Alwi percaya bahwa bangsa yang terus bergantung pada bahan bakar impor akan kehilangan kedaulatan ekonominya.
Indonesia memiliki cukup potensi untuk mandiri melalui energi bersih: panas bumi, surya, angin, dan bioenergi berbasis rakyat.
“Kemandirian energi bukan hanya soal listrik dan minyak, melainkan soal martabat bangsa untuk tidak tunduk pada tekanan global.” jelasnya.
Haidar menambahkan, arah kebijakan kemandirian ini sudah sejalan dengan semangat Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa kekayaan alam harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Tantangannya kini adalah memastikan agar seluruh program tidak berhenti di konsep, tetapi benar-benar menyentuh lapisan bawah yang selama ini terabaikan.
Pembangunan yang berhasil bukan yang terlihat megah di ibu kota, tetapi yang bisa dirasakan manfaatnya di pelosok negeri.
Rakyat Bantu Rakyat: Nurani yang Menggerakkan Negara.
Bagi Haidar Alwi, kekuatan bangsa sejati lahir dari rakyat yang saling menolong. Itulah sebabnya Haidar Alwi mempunyai program Rakyat Bantu Rakyat sebagai wujud nyata dari semangat ekonomi moral.
Melalui Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, Haidar Alwi menggerakkan berbagai program sosial seperti santunan dua juta anak yatim dan dhuafa, program 1.000 ton beras untuk rakyat dan masih banyak lagi yang lain.
Semua dijalankan tanpa seremoni, sebab baginya, kerja kemanusiaan tidak butuh tepuk tangan, melainkan ketulusan dan konsistensi.
Gerakan ini bukan sekadar bentuk kedermawanan, tetapi strategi kebangsaan untuk membangun ketahanan sosial dari bawah.
Ketika rakyat saling menguatkan, ketahanan bangsa tumbuh jauh lebih kokoh menghadapi guncangan ekonomi apa pun.
Melalui gotong royong, nilai-nilai Pancasila dan amanat Pasal 33 UUD 1945 diterjemahkan menjadi tindakan: bahwa kesejahteraan harus diusahakan bersama, bukan ditunggu turun dari atas.
Haidar Alwi menegaskan, keberhasilan sejati bangsa tidak diukur dari kekuatan militernya atau besarnya cadangan devisa, melainkan dari kemampuannya menumbuhkan keadilan di hati rakyatnya.
Bangsa yang berhasil bukan yang menaklukkan dunia, melainkan yang mampu menenangkan rakyatnya dengan rasa aman, sejahtera, dan penuh harapan.
“Bangsa yang besar bukan yang sibuk menaklukkan dunia, tetapi yang sabar menyejahterakan rakyatnya. Kemandirian adalah martabat.”
“Dan martabat bangsa hanya bisa dijaga bila pemerintah dan rakyat berdiri di sisi yang sama, bekerja, berbagi, dan berjuang demi keadilan yang bisa dirasakan hingga dapur-dapur rakyat,” pungkas Haidar Alwi.
Hai pembaca setia! Temukan solusi media online Anda di 





