Jakarta,LIRATV.ID — R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, memandang bahwa sejarah ekonomi dunia sejatinya adalah perjalanan panjang manusia untuk memahami kesejahteraan secara utuh. Dari masa klasik hingga era digital, teori ekonomi terus berganti, namun semuanya berhenti pada satu kesimpulan: sistem apa pun akan gagal bila kehilangan nurani.
Menurutnya, Indonesia tidak perlu meniru sistem mana pun. Pasal 33 UUD 1945 telah memuat seluruh prinsip ekonomi terbaik yang pernah dirumuskan manusia, efisiensi, keadilan, dan kesejahteraan bersama. *“Kesejahteraan tanpa moral hanyalah ilusi, dan kemakmuran tanpa keadilan hanyalah penindasan yang dibungkus data,”* ujar Haidar Alwi.
Pelajaran dari Sejarah Ekonomi Dunia.
Abad ke-18 menandai lahirnya ekonomi klasik melalui pemikiran Adam Smith tentang “tangan tak terlihat” yang dipercaya mampu menyeimbangkan pasar. Namun seiring waktu, tangan itu digerakkan oleh keserakahan. Pasar menciptakan kemakmuran di satu sisi, tetapi juga ketimpangan di sisi lain.
Karl Marx kemudian muncul membawa kritik terhadap ketidakadilan kapitalisme, sedangkan John Maynard Keynes menyelamatkan dunia dari krisis besar 1930 dengan gagasan bahwa pasar tidak dapat menyembuhkan dirinya sendiri tanpa peran negara.
Bagi Haidar Alwi, dari Smith hingga Keynes, semua teori itu hanyalah upaya manusia mencari keseimbangan antara kebebasan dan keadilan. “Setiap kali ekonomi runtuh, yang jatuh bukan angka, melainkan rasa kemanusiaan. Krisis bukan sekadar kegagalan pasar, tapi kegagalan moral manusia dalam mengatur keserakahan,” tegas Haidar Alwi.
Setelah Keynes, muncul Milton Friedman dengan gagasan monetarisme yang menempatkan kestabilan uang sebagai pusat ekonomi. Namun, bagi Haidar Alwi, pandangan itu cerdas tapi kering, karena menempatkan angka di atas manusia. *“Stabilitas tanpa empati hanyalah ketenangan di grafik, tapi kegelisahan di dapur rakyat,”* kata Haidar Alwi.
Abad ke-21 membawa babak baru ketika uang berubah menjadi data dan pasar menjadi algoritma. Dunia kini dikendalikan oleh invisible algorithm, tangan tak terlihat yang bergerak melalui kecerdasan buatan. *“Yang menguasai data, menguasai arah peradaban. Tapi data tanpa kedaulatan hanya akan melahirkan penjajahan bentuk baru,”* ujar Haidar Alwi.
Dari Krisis Global ke Kesadaran Nasional.
Menurut Haidar Alwi, perjalanan panjang ekonomi dunia seharusnya membawa bangsa Indonesia pada satu kesadaran: keseimbangan antara pasar dan negara adalah kunci dari keadilan ekonomi. Itulah makna terdalam dari Pasal 33 UUD 1945.
Pasal tersebut bukan sekadar teks hukum, melainkan panduan moral yang mengajarkan bahwa perekonomian harus disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, dengan hasil sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dari kesadaran itu lahirlah gagasan Ekonomi Pancasila 5.0, konsep yang memadukan teknologi, ilmu pengetahuan, dan nilai kemanusiaan dalam satu sistem berkeadilan.
“Ekonomi Pancasila 5.0 bukan sistem baru, melainkan kesadaran lama yang diperbarui. Ia menegaskan bahwa kemajuan sejati adalah ketika teknologi tunduk pada nilai kemanusiaan,” kata Haidar Alwi.

Kemajuan ekonomi Indonesia akan terwujud bila tiga fondasi berjalan seimbang: kedaulatan pangan, kemandirian energi, dan keadilan industri nasional. Negara harus hadir di setiap rantai nilai agar kekayaan alam tidak bocor ke luar negeri. “Negara yang kuat bukan yang kaya investor, tetapi yang kaya rakyat. Emas, nikel, dan bauksit bukan sekadar komoditas, tetapi amanah konstitusi yang wajib dikelola dengan nurani,” tegas Haidar Alwi.
Prabowo dan Purbaya: Arah Baru Ekonomi Indonesia.
Dalam konteks hari ini, Haidar Alwi melihat masa depan ekonomi Indonesia tengah berada di tangan yang tepat. Presiden Prabowo Subianto membawa keberanian politik untuk memutus ketergantungan asing, sementara Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menghadirkan presisi ilmiah dan moral fiskal yang jujur.
“Prabowo adalah pewaris visi Sumitro Jojohadikusumo, sedangkan Purbaya adalah tangan ilmiahnya yang mengeksekusi dengan kedisiplinan moral,” ujar Haidar Alwi.
Kebijakan fiskal di bawah Purbaya diarahkan untuk memperkuat sektor riil, memperluas lapangan kerja, dan mengembalikan fokus ekonomi pada kesejahteraan rakyat. Ia menempatkan uang publik bukan sebagai alat kekuasaan, tetapi sebagai energi pembangunan yang berpihak pada rakyat.
Sementara itu, Prabowo mengembalikan semangat berdikari melalui hilirisasi sumber daya alam, swasembada pangan, dan kedaulatan energi nasional. Sinergi keduanya menciptakan harmoni antara keberanian politik dan ketepatan ilmiah. “Moneter menjaga angka, fiskal menjaga manusia. Dua-duanya harus berpihak agar bangsa ini berdaulat di tanahnya sendiri,” kata Haidar Alwi.
Menatap Masa Depan Ekonomi Pancasila.
Optimisme Haidar Alwi lahir dari keyakinan bahwa bangsa ini memiliki segala yang dibutuhkan untuk menjadi besar: kekayaan alam yang melimpah, generasi muda yang produktif, serta nilai-nilai moral yang kokoh di dalam konstitusi.
Tantangannya, menurutnya, bukan lagi soal sumber daya, tetapi kemauan untuk menjalankan ekonomi dengan nurani. Selama arah kebijakan berpijak pada semangat Pasal 33 dan nilai Pancasila, Indonesia tidak hanya akan bertahan di tengah badai global, tetapi juga menjadi mercusuar ekonomi yang berkeadilan bagi dunia.
“Selama bangsa ini memegang moral Pasal 33, kita tidak akan jatuh dalam krisis. Kita tidak sedang membangun ekonomi, kita sedang membangun martabat bangsa,” pungkas Haidar Alwi. (Bar/Redsus)