Oleh: Haidar Alwi. (Pemikir Bangsa/Pendiri Haidar Alwi Institute)
TUNTUTAN agar Presiden Prabowo Subianto segera merealisasikan pembentukan Komite Reformasi Polri kembali mengemuka dengan nada mendesak seolah-olah hal itu merupakan janji politik yang pernah diumbar kepada publik.
Padahal jika ditelusuri secara jernih, tidak pernah sekalipun Presiden Prabowo menyampaikan secara eksplisit komitmen akan membentuk Komite Reformasi Polri.
Wacana tersebut justru lahir dari interpretasi sepihak salah satu anggota Gerakan Nurani Bangsa (GNB) usai pertemuan dengan Presiden pasca kerusuhan Agustus 2025, yang kemudian digulirkan ke ruang publik tanpa klarifikasi lebih lanjut.
Dari interpretasi sepihak itu, terciptalah persepsi seolah-olah Presiden melakukan janji terhadap agenda yang pada dasarnya belum pernah diumumkan secara resmi.
Pemerintahan Prabowo berjalan dalam pola kerja yang sistematis, tidak reaktif. Pembentukan sebuah komite, terutama yang menyangkut institusi strategis seperti Polri, tentu bukan sekadar langkah administratif melainkan keputusan politik yang memerlukan pertimbangan matang, analisis keamanan nasional, dan kajian mendalam terhadap konsekuensi institusionalnya.
Dalam konteks ini, Presiden Prabowo tampak memilih jalur substantif dibandingkan simbolik. Reformasi Polri sudah berjalan di bawah kendali langsung Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo melalui Tim Transformasi Reformasi Polri yang bekerja senyap namun nyata dengan melibatkan akademisi, aktivis, dan pakar kepolisian.
Artinya, langkah reformasi bukan berhenti di tataran wacana atau pembentukan struktur baru, melainkan telah diterjemahkan dalam bentuk kerja-kerja teknis dan perubahan penting di tubuh Polri sendiri.
Ketika Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyatakan bahwa anggota Komite Reformasi Polri telah disusun dan segera diumumkan, pernyataan itu sejatinya harus dipahami dalam konteks birokrasi pemerintahan, di mana keputusan akhir tetap berada sepenuhnya di tangan Presiden.

Pernyataan tersebut merupakan bentuk transparansi perkembangan, bukan pengumuman final. Masyarakat perlu memahami bahwa dalam sistem presidensial, setiap kebijakan strategis, terutama yang berhubungan dengan lembaga keamanan negara, merupakan hak prerogatif kepala negara.
Mendesak Presiden agar segera mengumumkan sesuatu yang belum tentu menjadi prioritas utama dalam peta jalan reformasi nasional sama artinya dengan mendorong proses tanpa fondasi yang kokoh.
Narasi bahwa Presiden Prabowo mengingkari janji atau menunda Polri lebih banyak bersumber dari persepsi politik dibandingkan fakta kebijakan. Dalam situasi reformasi global yang menuntut stabilitas dan efektivitas penegakan hukum, reformasi institusional tidak dapat berjalan dengan tergesa-gesa apalagi untuk sekadar memenuhi ekspektasi opini publik.
Polri saat ini sedang mengalami fase adaptasi struktural dan kultural menuju organisasi yang lebih modern dan profesional, dan hal itu berlangsung di bawah pengawasan langsung Presiden dan Kapolri.
Dengan demikian, hadir atau tidaknya Komite Reformasi Polri secara formal bukanlah ukuran utama dari komitmen reformasi itu sendiri. Yang lebih penting adalah hasil yang dapat diukur. Mulai dari peningkatan transparansi, perbaikan pelayanan publik, hingga penguatan akuntabilitas di tubuh kepolisian.
Mendesak Presiden untuk memenuhi sesuatu yang tidak pernah dijanjikan bukan hanya keliru secara logika politik, tetapi juga menodai etika publik. Reformasi sejati tidak lahir dari tekanan politik, melainkan dari kesadaran institusional dan keberanian mengambil langkah strategi tanpa pencitraan.
Presiden Prabowo tampaknya memahami hal itu dengan baik. Ia tidak terjebak dalam permainan wacana, namun bekerja dalam diam untuk memastikan reformasi Polri berjalan secara substansial, terukur, dan berkelanjutan. Dalam perspektif kenegaraan, inilah bentuk kepemimpinan yang bertumpu pada prinsip. Bekerja lebih banyak daripada berbicara.
Jakarta, 21 Oktober 2025