Naskah: R. HAIDAR ALWI (Pemikir Bangsa/Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI)
REFORMASI Polri sejatinya telah bergerak, meskipun secara formal Presiden Prabowo Subianto belum melantik Komite Reformasi Polri. Di bawah permukaan, langkah-langkah teknis yang dilakukan oleh institusi kepolisian justru menunjukkan bahwa perubahan telah dimulai dari dalam tubuh Polri sendiri.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri yang bekerja secara sistematis dengan melibatkan berbagai pihak eksternal. Mulai dari aktivis hak asasi manusia, akademisi, hingga para ahli dan pemerhati keamanan.
Langkah ini menandakan bahwa proses pembenahan Polri tidak menunggu seremoni politik, melainkan berjalan berdasarkan kebutuhan riil untuk memperkuat legitimasi publik dan memperbaiki tata kelola institusi.
Tim tersebut bekerja bukan hanya sebagai simbol keterbukaan Polri terhadap kritik, tetapi juga sebagai mekanisme nyata untuk mengukur kelemahan internal yang selama ini menjadi sorotan publik.
Dalam pendekatan teknokratisnya, Polri berupaya menyeimbangkan dua kepentingan besar. Menjaga stabilitas keamanan nasional dan membangun kepercayaan masyarakat yang sempat terguncang oleh kasus-kasus besar beberapa tahun terakhir.
Melalui forum-forum diskusi, riset, serta sistem pengawasan, Tim Transformasi Reformasi Polri berperan sebagai laboratorium kebijakan yang mematangkan fondasi reformasi sebelum struktur formalnya terbentuk di tingkat nasional.
Dengan langkah ini, Polri tampak memilih jalan yang substantif ketimbang simbolik. Sebab, pengalaman menunjukkan bahwa reformasi yang hanya bergantung pada keputusan politik sering kali berhenti pada tataran wacana atau seremoni pelantikan. Sementara reformasi yang dimulai dari kesadaran internal dan proses teknis di lapangan akan menghasilkan perubahan yang lebih menyeluruh dan berkelanjutan.

Dalam konteks itu, tindakan Kapolri mencerminkan pragmatisme institusional yang cerdas. Tidak menunggu bola dari pemerintah, tetapi bergerak terlebih dahulu dengan arah yang tetap selaras dengan visi presiden tentang profesionalisme dan akuntabilitas aparatur negara.
Keterlibatan kalangan sipil dalam proses reformasi ini menjadi sinyal penting bahwa Polri sedang membangun jembatan baru antara negara dan masyarakat. Masukan dari aktivis dan akademisi tidak lagi dianggap sebagai bentuk tekanan, melainkan sebagai sumber legitimasi moral dan intelektual bagi proses transformasi.
Polri sepertinya memahami bahwa dalam era keterbukaan informasi, kinerja dan kredibilitas tidak bisa lagi dipertahankan dengan cara-cara tertutup. Transparansi kini menjadi alat pengamanan yang lebih efektif daripada retorika.
Dengan demikian, meskipun secara formal Komite Reformasi Polri belum dilantik oleh Presiden Prabowo, dorongan reformasi di tubuh kepolisian telah nyata terasa. Di satu sisi, hal ini menunjukkan bahwa Polri tidak lagi sekadar menjadi objek reformasi, tetapi juga subjek yang proaktif membangun arah pembenahan.
Di sisi lain, langkah teknis ini dapat menjadi landasan yang kokoh bagi Komite Reformasi Polri ketika nanti resmi bekerja secara formal. Reformasi yang dimulai dari dalam akan memperkuat efektivitas yang diatur dari luar. Jika pola ini terus konsisten, maka reformasi Polri tidak akan terjebak dalam siklus politik atau pergantian kepemimpinan, melainkan menjadi proses institusional yang berkelanjutan dan terukur.
Polri telah memulai fase penting dalam sejarah modernisasinya. Sebuah fase di mana perubahan tidak menunggu perintah, tetapi dibangun melalui kesadaran kolektif untuk memperbaiki diri. Inilah bentuk reformasi yang paling sejati. Bergerak tanpa gembar-gembor, bekerja tanpa seremonial, namun menancapkan fondasi yang kuat bagi lahirnya institusi kepolisian yang profesional, transparan, dan berintegritas.
Hai pembaca setia! Temukan solusi media online Anda di 





