Jakarta, LiraTV.id – R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menilai penyitaan tambang ilegal di Bangka Belitung sebagai momentum besar untuk memulihkan kembali kedaulatan mineral Indonesia.
Pada awal Oktober 2025, Kejaksaan Agung bersama aparat penegak hukum menyita enam smelter ilegal di wilayah konsesi PT Timah.
Barang bukti yang diserahkan kepada PT Timah bernilai sekitar Rp6-7 triliun, sementara potensi kerugian negara akibat praktik tambang ilegal di kawasan itu diperkirakan mencapai Rp300 triliun.
Di balik penyitaan itu terdapat sekitar 40 ribu ton monasit, mineral pembawa unsur tanah jarang atau rare earth element (REE), yang selama bertahun-tahun digarap secara ilegal tanpa memberi manfaat bagi negara.
Bagi Haidar Alwi, peristiwa ini bukan sekadar kasus hukum, tetapi babak baru kesadaran nasional bahwa istilah tanah jarang bukan sekadar nama mineral, melainkan lambang dari kekayaan bangsa yang terlalu lama diabaikan.
Monasit yang selama ini tampak seperti pasir coklat biasa, sesungguhnya menyimpan masa depan industri teknologi global, dan Indonesia sedang berdiri tepat di atasnya.
Nilai Strategis Monasit dan Rare Earth bagi Indonesia.
REE merupakan kelompok tujuh belas unsur kimia yang terdiri atas lima belas unsur lantanida ditambah skandium dan itrium.
Unsur-unsur ini memiliki sifat magnetik, konduktif, dan fluoresen yang menjadikannya sangat berharga bagi industri modern seperti kendaraan listrik, semikonduktor, komunikasi satelit, pertahanan militer, hingga energi baru terbarukan. Dalam konteks ekonomi global, REE telah menjadi bahan bakar utama revolusi teknologi abad ke-21.
Monasit, sebagai salah satu mineral pembawa REE, memiliki nilai yang sangat tinggi. Satu ton monasit dapat bernilai hingga dua ratus ribu dolar Amerika Serikat, atau sekitar 3,3 miliar rupiah tergantung kadar dan pasar.
Jika jumlah monasit di kawasan Bangka Belitung mencapai sekitar 40 ribu ton, maka potensi ekonominya bisa menembus ratusan triliun rupiah. Angka ini menunjukkan betapa besar nilai yang terpendam di dalam bumi Indonesia dan betapa pentingnya kesadaran baru dalam mengelola sumber daya nasional.
“Negara ini tidak miskin sumber daya, tetapi terlalu lama membiarkan kekayaan alamnya dihitung dari sisi pajak, bukan dari nilai strategisnya. Padahal nilai sejati sebuah bangsa bukan terletak pada banyaknya yang dijual, melainkan pada seberapa dalam ia memahami apa yang dimilikinya.”
Haidar Alwi menjelaskan bahwa monasit tidak dapat diperlakukan seperti mineral biasa. Ia menempel pada batuan utama seperti timah, zirkon, dan bauksit, dan untuk memisahkannya diperlukan teknologi pemrosesan yang disebut cracking.
Karena keterbatasan teknologi di masa lalu, Indonesia mengekspor bongkahan campuran yang hanya mengandung sebagian timah, padahal di dalamnya terdapat unsur tanah jarang bernilai jauh lebih tinggi.
Akibatnya, negara lain menikmati nilai tambah dan hasil olahan teknologinya, sementara Indonesia hanya mendapat sedikit dari kekayaan yang keluar.
Menurut Haidar Alwi, hal tersebut bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi juga masalah pengetahuan dan sistem. Ia menegaskan, bangsa yang tidak memahami kandungan kekayaannya akan kehilangan kedaulatan ekonominya sedikit demi sedikit, tanpa disadari.
Pelajaran dari Masa Lalu dan Pembangunan Sistem Baru.
Haidar Alwi menilai masa lalu harus dijadikan bahan pembelajaran, bukan bahan saling menyalahkan. Ia menyebut periode itu sebagai masa “ketidaksadaran mineral,” di mana negara menghitung batu tapi lupa menghitung nilai ilmu di dalam batu tersebut.
Haidar Alwi menilai sudah waktunya Indonesia melakukan audit nasional terhadap seluruh cadangan mineral strategis, termasuk kandungan mineral ikutan seperti REE, agar setiap sumber daya yang dikelola negara dapat dihitung secara ilmiah dan transparan.

Haidar Alwi juga menekankan pentingnya kolaborasi antara perguruan tinggi, lembaga riset, dan BUMN tambang dalam membangun fasilitas riset dan pemurnian REE di dalam negeri. Menurutnya, kemandirian teknologi menjadi syarat mutlak agar Indonesia tidak terus bergantung pada negara lain.
“Kita tidak boleh lagi mengukur kemakmuran nasional dari banyaknya hasil tambang yang dijual, tetapi dari kemampuan bangsa ini menguasai teknologi untuk mengelolanya. Di situlah letak kedaulatan sejati, bukan hanya menggali tetapi juga memahami.” tegas Haidar Alwi.
Langkah Presiden Prabowo Subianto menertibkan enam perusahaan tambang ilegal di Bangka Belitung menjadi bukti bahwa negara kini bergerak dari wacana menuju tindakan nyata.
Dalam pandangan Haidar Alwi, kebijakan tersebut bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga bagian dari reformasi struktural ekonomi tambang.
Haidar Alwi menyebut langkah ini sebagai lahirnya “jalur mineral” atau mineral road, babak baru yang menggantikan era spice road (jalur rempah), di mana kekayaan bangsa kini ditentukan oleh penguasaan mineral berteknologi tinggi.
“Presiden Prabowo memahami bahwa sumber kekuatan masa depan bukan lagi minyak atau gas, melainkan unsur tanah jarang yang menjadi pondasi seluruh sistem teknologi modern. Dan ketika beliau menertibkan tambang ilegal itu, sesungguhnya beliau sedang menegakkan kembali kedaulatan ilmu dan ekonomi bangsa,” tegas Haidar Alwi.
Jalan Baru di Bawah Kepemimpinan Prabowo Subianto.
Haidar Alwi memandang penyitaan tambang ilegal dan penertiban enam smelter tersebut sebagai langkah monumental yang menandai kebangkitan kesadaran nasional terhadap pentingnya REE.
Menurutnya, kebijakan itu tidak hanya berdampak hukum, tetapi juga membuka ruang partisipasi bagi rakyat melalui koperasi tambang rakyat berteknologi bersih.
Koperasi semacam itu akan menjadi jembatan antara masyarakat dan industri besar, agar kekayaan bumi tidak lagi dikuasai oleh segelintir pihak.
“Kedaulatan mineral bukan hanya tentang siapa yang memiliki tambang, tetapi tentang siapa yang memahami dan menjaga nilai tambahnya. Bila rakyat ikut memahami nilai ilmiah dari tanah yang mereka pijak, maka tidak ada lagi kekayaan bangsa yang keluar tanpa perhitungan,” ujar Haidar Alwi.
Haidar Alwi mendorong pemerintah segera membangun bank data nasional mineral strategis yang terintegrasi lintas lembaga.
Dengan sistem digitalisasi dan audit berlapis, setiap ton mineral dapat dilacak asal-usul, nilai, serta tujuannya. Transparansi ini menjadi kunci agar negara benar-benar memegang kendali penuh atas sumber daya alamnya sendiri.
Haidar Alwi juga menegaskan pentingnya dimensi moral dalam setiap kebijakan tambang. Ia menilai kekayaan mineral adalah amanah Tuhan untuk dijaga dan digunakan bagi kemaslahatan rakyat.
“Kita tidak boleh lagi membiarkan rakyat miskin di atas tanah yang kaya. Tambang harus menjadi ruang pembelajaran bagi ilmu dan kesejahteraan, bukan sumber penderitaan bagi masyarakat,” ujar Haidar Alwi.
Menurutnya, langkah Presiden Prabowo merupakan fondasi penting bagi arah baru pembangunan ekonomi nasional berbasis mineral.
Ia menilai tindakan tegas itu bukan sekadar penyitaan, tetapi tanda dimulainya era kesadaran baru: era ketika bangsa Indonesia berani menghitung, menjaga, dan mengelola kekayaannya sendiri dengan teknologi dan nurani.
“Negara kuat bukan karena tambangnya banyak, tetapi karena rakyatnya berani menjaga yang tersisa dengan ilmu dan tanggung jawab,” pungkas Haidar Alwi.