Jakarta, LIRATV — Dalam Forum Komunikasi Majelis Adat Indonesia (MAI), HRM. Soekarna, Pembina Perintis Kemerdekaan RI Diraja Nusantara, menyampaikan keprihatinan atas hilangnya Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sebagai saluran resmi nasihat kenegaraan yang melibatkan Yang Mulia (YM) para Sultan dan Raja. Ia menilai perubahan kelembagaan dari DPA menjadi bentuk lain tanpa mekanisme ketatanegaraan yang memadai adalah keadaan yang “ironis, miris, bahkan tragis.”
“DPA hilang, eksistensi YM Sultan dan Raja dalam ruang nasihat negara pun ikut memudar. Lembaga MPR dan DPA adalah entitas berbeda, dengan tugas dan fungsi yang berbeda pula,” tegas HRM. Soekarna.
Pernyataan ini menanggapi pertanyaan Sultan Syarif di forum MAI mengenai kemungkinan menghidupkan kembali DPA dalam format yang relevan dengan kebutuhan zaman. Menurut HRM. Soekarna, opsi revitalisasi perlu dikaji melalui proses konstitusional disertai dialog luas dengan seluruh pemangku kepentingan.
MAI menilai pemulihan martabat saluran nasihat kenegaraan harus mengedepankan nilai adat, kearifan lokal, dan tertib ketatanegaraan. Untuk itu, MAI mengusulkan peta jalan sebagai berikut:
Audit Konstitusional dan Legislasi
Menelaah dasar hukum fungsi nasihat kepada Presiden serta posisi representasi adat dalam arsitektur kelembagaan negara.
Dialog Nasional Inklusif
Melibatkan YM Sultan dan Raja, MPR/DPR, DPD, Pemerintah, akademisi, serta masyarakat sipil untuk menyamakan persepsi tentang mandat lembaga nasihat.
Desain Kelembagaan yang Tepat
Opsi penguatan lembaga yang ada dengan kanal representasi adat, atau pembentukan lembaga nasihat berbasis adat melalui instrumen hukum yang sah.
Prinsip-Prinsip Penguatan
Menjamin martabat YM Sultan dan Raja; memastikan akuntabilitas, transparansi, dan keberlanjutan peran; serta tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Tim Kajian Bersama
MAI siap menugaskan pakar adat dan hukum tata negara untuk menyusun naskah akademik dan draf rekomendasi kebijakan.
“MAI tidak hendak menjadi tandingan negara. Kami menawarkan etika, kearifan, dan keseimbangan agar pemerintahan tetap berpijak pada jati diri bangsa. Jika fungsi nasihat ala DPA hendak dihidupkan kembali, lakukanlah melalui kajian mendalam dan prosedur konstitusional yang tertib,” tegas perwakilan MAI.
Sementara itu, Sultan Syarif menilai penghapusan DPA dari UUD 1945 adalah sebuah kegagalan sekaligus kemunduran bangsa. DPA, menurutnya, adalah penyeimbang moral dan ruang kearifan yang memberi masukan aktif kepada Presiden—berbeda dengan Wantimpres yang hanya pasif memberi nasihat bila diminta.
“Hilangnya DPA berarti bangsa kehilangan forum kebijaksanaan dan kontrol etik terhadap arah negara. Karena itu, DPA layak dipertimbangkan kembali kehadirannya dalam format baru yang relevan dengan zaman, namun tetap berakar pada nilai luhur bangsa,” pungkas Sultan Syarif.
*Tentang Majelis Adat Indonesia (MAI)*
Majelis Adat Indonesia (MAI) adalah wadah etik-kultural yang menghimpun unsur adat Nusantara untuk menjaga jati diri bangsa dan memberi nasihat kebijakan berlandaskan kearifan lokal, tanpa mengambil alih fungsi eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.(Bar//Redsus)
Sultan dan Raja Serukan Revitalisasi Dewan Pertimbangan Agung