Oleh: Dwi Taufan Hidayat
PERNYATAAN seorang politisi yang mengaku sulit mendapatkan duit halal sebagai anggota DPR adalah ironi yang menampar akal sehat publik. Di tengah kondisi rakyat yang berjuang mencari nafkah dengan jujur, justru wakil rakyat terang-terangan menyebut integritas finansial sebagai kemewahan yang sulit diraih di parlemen.
Pernyataan ini, jika dibaca tanpa konteks, terdengar seperti pengakuan jujur. Namun jika dipahami dalam realitas politik Indonesia, ia lebih menyerupai pembenaran sistem yang memang subur dengan praktik transaksional. Bukan rahasia lagi bahwa ruang-ruang kekuasaan sering kali menjadi pasar gelap kepentingan, di mana uang dan keputusan saling bertukar tangan.
Ironinya, orang yang duduk di kursi legislatif justru memiliki akses yang paling besar terhadap mekanisme pengawasan, pembentukan undang-undang, dan pengalokasian anggaran. Ketika orang dalam sistem mengaku sulit mendapatkan penghasilan halal, itu bukan sekadar pengakuan personal, melainkan indikasi bahwa sistem itu sendiri sudah terinfeksi penyakit akut.
Publik tentu berhak bertanya: jika memang sulit mencari yang halal, lalu uang yang selama ini mereka terima berasal dari mana? Apakah gaji resmi dan tunjangan DPR tidak cukup? Jika tidak cukup, mengapa? Apakah gaya hidup mewah menjadi standar tak tertulis yang mendorong mereka mencari sumber lain yang kabur etikanya?
Pengakuan ini juga secara tidak langsung membuka tabir bahwa politik di Indonesia adalah medan yang rawan korupsi bukan hanya karena pelakunya serakah, tetapi karena ekosistemnya memfasilitasi perilaku itu. Lobi proyek, barter dukungan, titipan anggaran, hingga “uang pelicin” adalah realitas yang sering dibungkus dengan istilah halus seperti “aspirasi” atau “komunikasi politik”.
Lebih menyedihkan lagi, ucapan ini datang dari partai politik besar yang telah lama bercokol di panggung kekuasaan. Partai yang seharusnya punya kekuatan untuk memperbaiki sistem justru melahirkan politisi yang mengakui ketidakmampuan menjaga kemurnian finansial. Jika di tingkat elit saja “uang halal” sulit ditemukan, bagaimana di level bawah yang penuh tarikan kepentingan lokal?
Sinisme publik bukan tanpa alasan. Banyak warga yang hidup pas-pasan tetap bisa menjaga kehalalan rezekinya, meski tanpa fasilitas, gaji besar, atau akses kekuasaan. Tukang becak, buruh pabrik, pedagang kecil mereka bekerja keras tanpa merasa perlu “menyesuaikan” etikanya demi bertahan hidup. Lalu mengapa wakil rakyat dengan segala privilese justru merasa itu mustahil?
Pernyataan ini juga memberi gambaran suram tentang etika politik kita: bahwa bagi sebagian anggota legislatif, kehalalan uang bukan lagi kewajiban, melainkan pilihan yang sulit dijalani. Padahal, amanah jabatan publik seharusnya melekat dengan tuntutan moral untuk menjauhkan diri dari segala bentuk rezeki yang haram atau syubhat.

Dalam perspektif publik, pengakuan ini terdengar seperti keluhan orang yang sadar berada di lumpur, tetapi memilih tetap tinggal di dalamnya dengan alasan “semua orang juga begitu”. Ini bukan sekadar masalah individu, tapi masalah mentalitas kolektif di parlemen yang menganggap integritas sebagai beban, bukan sebagai standar minimal.
Lebih parahnya lagi, ucapan seperti ini bisa menjadi justifikasi bagi anggota DPR lain untuk menganggap perilaku menyimpang sebagai sesuatu yang “normal”. Efek psikologisnya berbahaya: jika korupsi dianggap bagian tak terpisahkan dari sistem, maka upaya pemberantasan hanya akan menjadi slogan kosong tanpa perubahan nyata.
Seharusnya, pengakuan ini diikuti dengan langkah berani: membongkar detail mekanisme yang membuat uang halal sulit diperoleh di DPR, mengungkap praktik-praktik kotor yang mengakar, dan mendorong reformasi internal. Jika tidak, maka ucapan ini hanya akan menjadi potret sinis bahwa para politisi lebih suka mengeluh daripada memperbaiki sistem yang mereka nikmati.
Dalam konteks yang lebih luas, pernyataan ini mencerminkan betapa rendahnya ekspektasi moral dalam dunia politik kita. Kita sampai di titik di mana kejujuran dianggap langka, dan pengakuan soal sulitnya mencari uang halal justru terdengar wajar di telinga sebagian orang. Ini adalah tanda bahwa standar etika publik telah runtuh.
Yang lebih ironis, di negara dengan mayoritas Muslim, kata “halal” seharusnya menjadi prinsip mutlak, bukan sekadar jargon. Namun realitasnya, ia berubah menjadi komoditas yang hanya laku di panggung kampanye, sementara dalam praktiknya kalah oleh godaan uang cepat dan kepentingan pragmatis.
Mungkin inilah saatnya publik berhenti menunggu kesadaran datang dari dalam DPR. Jika integritas dianggap langka di sana, maka tekanan publik, transparansi anggaran, dan pembatasan kekuasaan harus menjadi senjata. Karena kalau kita biarkan, pengakuan seperti ini akan menjadi normal baru yang mematikan moral politik bangsa.
Dan kalau memang mencari uang halal di DPR itu sulit, mungkin solusi terbaik bagi mereka yang merasa tidak sanggup adalah mundur. Sebab jabatan publik bukanlah tempat untuk bernegosiasi dengan integritas. Jika tetap bertahan sambil mengeluh, itu artinya bukan hanya mereka yang kotor, tetapi kita semua yang memilih mereka ikut menanggung aibnya.