Aliye Cendrawan, Sekretaris Jenderal Asosiasi Wadah Makanan Indonesia (ADMKI), menegaskan bahwa produsen lokal saat ini sudah mampu memproduksi dengan standar kualitas tinggi dan kapasitas produksi yang memadai, bahkan dengan kondisi “yang sedang-sedang saja” mampu mencapai omzet hingga Rp10 miliar per bulan.
“Sayangnya, dalam proses pengadaan alat makan untuk program MBG, keterlibatan Kementerian dan lembaga pemerintah masih minim. Banyak pengusaha dalam negeri merasa berjalan sendiri tanpa pendampingan. Ini sangat disayangkan,” ujarnya.
Aliye juga menyinggung soal isu kualitas bahan baku yang sempat mencuat akibat ditemukannya produk dengan bahan stainless steel yang tidak sesuai standar (SUS 201), yang berpotensi menimbulkan masalah kesehatan. Ia menegaskan bahwa seluruh anggota ADMKI telah menggunakan bahan baku standar internasional SUS 304 yang aman dan tahan lama.
“Banyak keluhan sakit perut dari penerima manfaat karena penggunaan bahan tak layak. Kita tidak bisa menoleransi hal ini. Ini menyangkut kesehatan generasi masa depan,” lanjutnya.
Dalam kesempatan yang sama, Rico, anggota ADMKI, menambahkan bahwa dari 26 perusahaan yang tergabung dalam asosiasi, semuanya telah siap untuk memenuhi kebutuhan nasional asalkan pemerintah memberikan ruang dan kesempatan yang adil.
Sementara itu, Robet Susanto dari APMKI (Asosiasi Produsen Makanan Khas Indonesia) dan Pak Cao dari ASPRADAM (Asosiasi Produsen Alat Dapur Makanan) turut mendukung seruan untuk pembukaan regulasi yang memungkinkan produsen lokal lebih mudah mendapatkan bahan baku, serta membedakan perlakuan antara barang impor jadi dan bahan baku impor.

“Jangan samakan regulasi antara barang jadi impor dan bahan baku. Kalau bahan bakunya dibatasi, bagaimana kita bisa produksi? Harga produk luar bisa jauh lebih murah, itu tidak adil,” ungkap Robet.
Para pelaku industri berharap pemerintah tidak hanya fokus pada pengadaan, tetapi juga memberikan jaminan kepastian hukum dan dukungan terhadap kualitas produk dalam negeri. Mereka juga meminta Dewan Ekonomi Nasional dan Kementerian terkait untuk duduk bersama dengan asosiasi demi mencari solusi bersama.
“Jangan sampai korban dari kelalaian regulasi ini adalah anak-anak Indonesia yang seharusnya menerima manfaat dari program gizi. Mari kita gotong royong untuk membenahi sistem ini”,pungkasnya.
.