Jakarta, LiraTV.id – R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menilai bahwa tidak semua hal yang viral di ruang publik layak menjadi bahan polemik.
Apalagi jika hal tersebut berasal dari konteks internal, disampaikan dalam suasana informal, dan tidak bermuatan menyerang.
Inilah yang terjadi pada Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR RI sekaligus Ketua Dewan Penasehat Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (Gekrafs), yang beberapa waktu lalu melontarkan candaan tentang “logo kancil” dalam forum kreatif.
“Sayangnya, candaan itu justru ditarik ke tafsir politik oleh sebagian pihak yang tak hadir dalam ruang itu,” ungkap Haidar dalam analisisnya, Rabu (23/7/2025).
Alih-alih menyoroti kontribusi nyata Dasco terhadap ekosistem ekonomi kreatif nasional, sebagian publik justru terjebak dalam opini dangkal yang dibentuk dari potongan video.
“Padahal, jika ditinjau lebih utuh, tidak ada nada menyerang, tidak ada yang merasa disindir, dan bahkan PSI -yang dikaitkan oleh spekulasi publik- tidak pernah menyampaikan keberatan,” lanjut Haidar.
Maka muncul pertanyaan yang lebih penting: untuk siapa sebenarnya kegaduhan ini diciptakan?
Membedakan Candaan dan Serangan.
Dalam dunia demokrasi yang sehat, kita harus mampu membedakan antara candaan ringan dan provokasi politis.
Dasco melontarkan guyonan dalam forum internal Gekrafs, organisasi yang memang dikenal penuh warna, ide, dan kreativitas.
Sebagai pembina, ia menyampaikan sambutan penutup dengan cara yang santai, sebagai bentuk komunikasi yang merangkul, bukan memecah.
Namun publik digital seringkali kehilangan konteks. Sebagian orang langsung menghubungkan kata “kancil” dengan partai tertentu yang baru saja mengganti logonya menjadi gajah.
Spekulasi pun berkembang, bahkan sebelum klarifikasi dari yang bersangkutan diberikan.
Untungnya, Sufmi Dasco Ahmad dengan tenang menjelaskan bahwa ia tak memiliki niat menyindir siapa pun. Ia bahkan menegaskan hubungannya dengan PSI berjalan baik dan tidak ada masalah sedikit pun.
Haidar menyayangkan logika publik kita hari ini kerap dikalahkan oleh kecepatan reaksi. Padahal demokrasi bukan ruang untuk membakar emosi, tetapi untuk menguji akal sehat.
Kata Haidar, jika setiap ucapan tokoh publik harus selalu dikawal oleh ketakutan disalahpahami, maka kita akan kehilangan kedewasaan dalam berinteraksi sebagai bangsa.
“Demokrasi yang sehat tidak anti-candaan. Justru keberanian untuk bersikap ringan di tengah tekanan adalah tanda kecakapan pemimpin,” tegas Haidar Alwi.

Kiprah Dasco di Dunia Ekonomi Kreatif.
Satu candaan seharusnya tidak mengaburkan kontribusi panjang. Sufmi Dasco Ahmad bukan hanya tokoh politik, tapi juga aktor penting dalam penguatan sektor kreatif nasional.
Sebagai Ketua Dewan Penasehat Gekrafs, Dasco menjembatani komunitas kreatif dengan para pembuat kebijakan. Ia terlibat langsung dalam mendorong lahirnya regulasi dan program yang mendukung pelaku ekraf di daerah.
Gekrafs sendiri adalah organisasi raksasa yang merangkul 17 subsektor industri kreatif, dari film dan musik hingga teknologi digital dan kuliner.
Di bawah dukungan tokoh seperti Dasco, Gekrafs kini hadir di puluhan kabupaten/kota bahkan hingga luar negeri. Mereka tidak hanya bicara inovasi, tetapi juga membangun infrastruktur kolaborasi nyata.
Haidar Alwi menilai bahwa masyarakat harus lebih dewasa dalam menilai tokoh bangsa. Kita tidak bisa membiarkan kerja keras puluhan tahun dikerdilkan oleh satu baris kalimat yang bahkan tidak menyakiti siapa pun.
“Kalau bangsa ini ingin maju, maka kita harus belajar melihat tokoh dari kontribusinya, bukan dari satu candaan yang dipelintir keluar konteks,” tegas Haidar Alwi.
Demokrasi Tidak Butuh Sensasi.
Kita hidup di tengah ekosistem digital yang mendorong semuanya menjadi viral. Namun tidak semua yang viral itu penting. Tidak semua yang ramai itu benar.
Dalam demokrasi, kegaduhan bisa jadi berbahaya jika tidak berpijak pada substansi. Dan dalam kasus ini, substansi yang perlu dibicarakan justru luput: bagaimana Dasco dan Gekrafs membangun ekosistem ekonomi kreatif nasional.
Haidar Alwi menekankan bahwa demokrasi yang terlalu mudah tersulut isu simbolik adalah demokrasi yang rentan. Bukan hanya rentan konflik, tetapi juga rentan kehilangan arah.
Sebab energi bangsa ini seharusnya digunakan untuk membahas isu-isu strategis: pendidikan, ketahanan pangan, transformasi digital, perlindungan pelaku usaha kecil, bukan candaan yang tidak melukai siapa pun.
Jika kita ingin mencerdaskan bangsa, maka kita harus berhenti menghakimi niat orang lain hanya dari cuplikan video. Kita perlu membangun ruang publik yang adil, yang menghormati kerja nyata, dan yang menilai tokoh berdasarkan dampaknya, bukan rumor.
Dalam konteks ini, Sufmi Dasco Ahmad adalah contoh tokoh yang justru memperkuat jembatan antarsektor, bukan menciptakan jurang.
“Candaan Dasco bukan ancaman. Yang lebih berbahaya adalah jika kita terus membiasakan diri menuduh tanpa memahami. Demokrasi harus memberi ruang untuk spontanitas, untuk humor, dan untuk percaya bahwa tidak semua hal perlu dipolitisasi,” pungkas Haidar Alwi.