Jakarta, LIRA.TV — Peredaran obat keras golongan G seperti Tramadol, Hexymer, dan Double L kembali menjadi sorotan publik. Di kawasan Jalan Kunir 2, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat, sebuah toko obat diduga secara terang-terangan menjual obat-obatan tersebut kepada masyarakat tanpa resep dokter. Praktik ilegal ini tak hanya meresahkan, tetapi juga mencoreng wajah penegakan hukum dan dunia pers di Indonesia.
Mirisnya, aktivitas ilegal ini disebut telah berlangsung cukup lama tanpa hambatan berarti. Toko tersebut dikelola oleh seorang pria bernama Selamet, yang diduga menjadi pengendali utama operasional di lapangan. Berdasarkan informasi dari warga dan hasil investigasi, Selamet kerap merasa “kebal hukum” dan bahkan menunjukkan sikap arogan seolah mendapat perlindungan dari oknum yang mengaku sebagai wartawan dari media online Tren Media.
“Kami sudah beberapa kali mencoba lapor, tapi tidak pernah ada respon. Soalnya kata Selamet, dia sudah aman, ‘orang media’ jagain,” ujar salah satu warga setempat yang enggan disebutkan namanya.
Dari luar, toko tersebut tampak seperti toko obat pada umumnya. Namun di dalamnya, terdapat rak khusus yang menyimpan berbagai jenis obat keras. Transaksi dilakukan secara terbuka, tanpa prosedur medis apa pun. Pembeli bahkan datang dari luar wilayah Jakarta Barat, dan tak jarang masih mengenakan seragam sekolah, memperlihatkan betapa luas dan bahayanya jangkauan peredaran ini.
Warga menyebutkan, toko tersebut beroperasi setiap hari dari pagi hingga malam, dengan dugaan omzet harian mencapai jutaan rupiah. Penjualan dilakukan dalam satuan strip atau dus, tergantung permintaan pembeli. Fakta ini menunjukkan bahwa peredaran obat golongan G bukan lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi, melainkan telah menjadi jaringan bisnis gelap yang berjalan terang-terangan.
Yang membuat persoalan ini semakin kompleks adalah dugaan keterlibatan oknum wartawan yang menggunakan atribut pers untuk melindungi dan mengintimidasi. Warga sekitar menyebut bahwa sosok tersebut kerap datang ke lokasi untuk “mengondisikan” situasi saat ada tamu tak dikenal atau razia dadakan. Praktik semacam ini jelas mencoreng nama baik profesi jurnalistik yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pengawasan publik dan penegakan etika.
Penyalahgunaan profesi wartawan dalam kasus ini menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk dari organisasi pers independen yang selama ini menjaga marwah jurnalistik di Indonesia.
Obor Panjaitan, Ketua Umum Ikatan Pers Anti Rasuah (IPAR), menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap kondisi ini. “Jurnalis adalah mata dan telinga publik. Jika ada oknum media yang justru membekingi kejahatan, itu bukan lagi wartawan — itu penjahat berkedok pers. Kami mendorong Dewan Pers dan aparat penegak hukum untuk bertindak tegas,” ujarnya.

Senada dengan itu, Ferry Rusdiono, Ketua Umum Perkumpulan Wartawan Online Dwipantara (PWOD), juga menyatakan sikap tegas. “PWOD menolak keras praktik penyalahgunaan profesi wartawan untuk melindungi peredaran obat ilegal. Kami akan menyurati Dewan Pers dan pihak berwenang agar oknum yang mencoreng profesi ini diproses secara etik dan hukum,” tegasnya.
Secara hukum, peredaran obat keras golongan G tanpa izin merupakan pelanggaran berat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Setiap orang yang secara tanpa hak mengedarkan sediaan farmasi dapat diancam hukuman pidana maksimal 15 tahun penjara dan denda hingga Rp1,5 miliar.
Sementara itu, penggunaan atribut jurnalistik untuk melindungi aktivitas kriminal merupakan pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers serta Kode Etik Jurnalistik. Wartawan wajib bersikap independen, tidak menyalahgunakan profesinya, dan bertanggung jawab kepada publik.
Masyarakat kini menantikan ketegasan dari pihak Polres Metro Jakarta Barat untuk segera bertindak. Penindakan tidak hanya harus dilakukan terhadap pelaku lapangan seperti Selamet, tetapi juga terhadap seluruh jejaring pendukung, termasuk oknum media yang diduga menjadi pelindung dari praktik ilegal ini.
Apabila kasus ini kembali dibiarkan tanpa penyelesaian yang tegas dan transparan, maka kerusakan tidak hanya terjadi pada generasi muda akibat maraknya pil koplo, tetapi juga terhadap kepercayaan masyarakat pada supremasi hukum dan etika jurnalistik.
Wajah hukum dan kehormatan pers kini dipertaruhkan. Sudah saatnya hukum berbicara tanpa pandang bulu.
Catatan Redaksi: Laporan ini disusun berdasarkan investigasi lapangan, kesaksian warga, dan pernyataan resmi dari organisasi pers. Hak jawab terbuka bagi pihak-pihak yang disebut dalam laporan ini, sesuai prinsip jurnalisme berimbang.
(Bar/Red)