Jakarta, LiraTV.id – R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, mengungkap makna mendalam dari Kunjungan Sufmi Dasco Ahmad ke kediaman Bung Hatta pada Kamis, 18 Juli 2024.
Menurut Haidar, di tengah kegaduhan politik dan kaburnya orientasi moral dalam kepemimpinan bangsa hari ini, langkah-langkah sederhana yang sarat makna justru menjadi sinyal penting bagi masa depan negeri ini.
Kunjungan Sufmi Dasco Ahmad ke kediaman Bung Hatta bukan hanya bentuk penghormatan sejarah, juga simbol kebangkitan etika dalam politik Indonesia.
Haidar Alwi membaca peristiwa itu sebagai momen yang menghidupkan kembali pertanyaan paling mendasar dalam kehidupan berbangsa: apa arti menjadi pemimpin?
Warisan Bung Hatta: Kepemimpinan yang Berpihak pada Rakyat.
Bung Hatta bukan hanya Proklamator, bukan sekadar Wakil Presiden pertama Republik Indonesia. Ia adalah sosok yang menjadikan integritas sebagai napas dalam setiap keputusan politiknya.
Ketika bangsa ini dibentuk dari abu penjajahan, Bung Hatta memilih jalan sunyi: hidup bersahaja, menjauhi kemewahan, dan berdiri di barisan rakyat kecil. Ia tidak meninggalkan warisan harta, tetapi meninggalkan teladan.
Bagi Haidar Alwi, kunjungan Dasco ke rumah Bung Hatta tak bisa dibaca hanya sebagai agenda politis biasa.
Di tengah iklim demokrasi yang makin transaksional, langkah itu menjadi pengingat bahwa menjadi pemimpin bukanlah soal jabatan, melainkan soal arah: apakah kepemimpinan membawa rakyat mendekati cita-cita proklamasi, atau justru menjauh darinya.
โBung Hatta tidak memimpin dengan suara keras, tapi dengan keteladanan yang mengakar,โ tegas Haidar Alwi.
Dalam sejarahnya, Bung Hatta adalah penggagas koperasi sebagai sistem ekonomi yang adil. Ia menolak keras ketimpangan dan pembusukan kekuasaan.
Maka ketika Sufmi Dasco Ahmad, tokoh legislatif yang dikenal tenang dan tidak suka pencitraan, datang berkunjung ke rumah sang negarawan, ada sinyal penting: politik kita mungkin sedang mencari orientasi baru yang lebih etis dan manusiawi.
Sufmi Dasco Ahmad dan Simbol Politik Tanpa Hiruk Pikuk.
Dalam suasana politik nasional yang kerap gaduh dan penuh manuver, Sufmi Dasco Ahmad dikenal sebagai figur penyeimbang.
Ia tidak terbiasa bicara keras di podium, tetapi terbiasa bergerak dalam diam, memastikan stabilitas tetap terjaga. Gaya politiknya tak menjual emosi, tapi justru merawat akal sehat.
Maka langkahnya menyambangi rumah Bung Hatta bukan langkah seremonial, melainkan langkah simbolik: membangun jembatan antara generasi pendiri bangsa dan generasi pemimpin hari ini.
Haidar Alwi menilai bahwa bangsa ini sedang menghadapi krisis nilai. Terlalu banyak tokoh yang pandai berpidato, namun abai pada prinsip. Terlalu banyak pejabat yang fasih bicara rakyat, namun tidak hidup bersama rakyat.

โPemimpin itu bukan soal seberapa sering ia tampil di layar televisi, tapi seberapa sering ia hadir dalam kesulitan rakyat,โ ujar Haidar Alwi.
Dalam konteks itu, Dasco menunjukkan sebuah gaya kepemimpinan baru, tenang, namun kuat dalam pesan; sederhana, namun bermakna dalam tindakan.
Dasco telah memperlihatkan bahwa pemimpin tak harus mendobrak dengan kegaduhan, tapi bisa menata dengan keteladanan.
Dalam kunjungan itu, ia tidak hanya menghormati sejarah, tetapi juga menghidupkan ulang semangat moralitas yang selama ini terasa pudar di ruang-ruang kekuasaan.
Mewarisi Semangat Bung Hatta untuk Politik yang Membebaskan.
Bangsa ini membutuhkan lebih dari sekadar pemimpin administratif, bangsa ini butuh pemimpin visioner dengan integritas dan kepekaan sosial.
Di tengah konflik kepentingan dan tekanan oligarki, sosok seperti Bung Hatta menjadi langka.
Ia hidup tanpa kemewahan, wafat tanpa utang kepada rakyat, dan dikenang bukan karena jabatan, tapi karena kejujurannya.
โPolitik yang tidak membebaskan rakyat adalah politik yang gagal,โ tegas Haidar Alwi.
Melalui kunjungan Sufmi Dasco Ahmad ke rumah Bung Hatta, kita disadarkan bahwa memimpin Indonesia berarti memikul amanah sejarah.
Bukan sekadar menata program kerja, tetapi juga menata hati dan niat. Pemimpin seperti Bung Hatta mengajarkan bahwa hidup untuk rakyat adalah jalan tertinggi dalam politik.
Inilah saatnya generasi muda Indonesia meneladani yang baik, bukan sekadar memilih yang populer.
Haidar Alwi mengajak seluruh elite bangsa untuk kembali membuka lembaran sejarah, mempelajari nilai, bukan hanya kronologi. Rumah Bung Hatta adalah rumah kejujuran.
Siapa pun yang melangkah ke sana, hendaknya pulang membawa niat yang diperbarui: memimpin bukan untuk berkuasa, tetapi untuk mengabdi.
โPemimpin yang besar adalah mereka yang tidak hanya menulis sejarah, tapi hidup selaras dengan nilai sejarah itu sendiri,โ pungkas Haidar Alwi.