Jakarta, LIRA.TV — Derap langkah penyidik Kejaksaan Agung memecah keheningan di sebuah rumah mewah di Jalan Jenggala, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa siang, akhir Februari 2025. Pintu megah yang biasa menyambut elite bisnis dibuka paksa. Target mereka hanya satu: Mohammad Riza Chalid sosok yang dikenal luas sebagai The Gasoline Godfather dalam lanskap migas Indonesia.
Langkah tersebut menandai babak baru dalam pengungkapan skandal korupsi terbesar dalam sejarah industri energi nasional. Dalam konferensi pers pada Kamis, 10 Juli 2025, Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Qohar, menyatakan bahwa Riza diduga menjadi otak di balik manipulasi besar-besaran dalam pengelolaan minyak mentah dan produk kilang Pertamina sepanjang 2018–2023. Total kerugian negara yang tercatat mencapai Rp193,7 triliun, dan diperkirakan masih akan bertambah.
Skema Besar, Kerugian Fantastis
Kasus ini bermula dari dugaan penyalahgunaan kontrak penyewaan Terminal BBM Merak. Riza, bekerja sama dengan sejumlah pejabat Pertamina, diduga memaksakan kontrak sewa dengan harga sangat tinggi untuk fasilitas yang tidak dibutuhkan. Skema ini bahkan menghilangkan hak kepemilikan negara atas terminal tersebut.
“Ini bukan hanya soal uang, tapi soal rekayasa sistematis dalam tata kelola untuk memperkaya segelintir pihak,” ujar Qohar.
Riza diduga mengendalikan operasi dari rumahnya yang kini disita. Tak hanya di sektor migas, jaringan bisnisnya merambah ke perkebunan dan industri minuman. Penyidik juga menetapkan anak kandungnya, Muhammad Kerry Adrianto Riza, dan anak angkatnya, Gading Ramadhan Joedo, sebagai tersangka sejak Februari.
Jaringan Sistematis dan Kolaboratif
Total ada 12 tersangka sejauh ini, termasuk eks Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Alfian Nasution, serta pejabat aktif, Riva Siahaan. Di dalamnya terdapat pula broker dan pemilik perusahaan swasta yang bekerja sama dalam skema yang terstruktur dan sistematis.
Rincian dugaan kerugian negara:
•Rp35 triliun dari ekspor minyak mentahR
•Rp2,7 triliun dari impor minyak mentah melalui perantara
•Rp9 triliun dari impor BBM melalui broker
•Rp126 triliun dari kompensasi fiktif
•Rp21 triliun dari subsidi tidak sah
“Ini bukan ulah satu orang, tapi kolaborasi yang merusak,” tegas Qohar.

Jejak Panjang Sang Raja Minyak
Riza Chalid bukan nama baru dalam pusaran kontroversi. Lahir tahun 1960, ia dikenal sebagai pemain utama di balik impor minyak nasional. Ia sempat tersangkut skandal pembelian minyak campuran Zatapi tahun 2008 dan kasus besar Papa Minta Saham pada 2015 yang menyeret nama Setya Novanto.
Ia juga dikaitkan dengan pembelian pesawat militer (Sukhoi dan Hercules) pada 1996–1997 sebagai perwakilan keluarga Cendana — transaksi yang kemudian terungkap bermasalah karena markup harga.
Riza diketahui memiliki perusahaan-perusahaan berbasis di Singapura, seperti Supreme Energy, Paramount Petroleum, Straits Oil, dan Cosmic Petroleum. Majalah Globe Asia pernah menaksir kekayaannya mencapai USD415 juta pada 2016.
Buron Internasional
Hingga kini, Riza belum memenuhi tiga kali panggilan resmi dari Kejaksaan. Ia diduga berpindah-pindah lokasi di luar negeri, terakhir terlacak di Singapura. Pemerintah tengah menjajaki kerja sama pemulangan melalui jalur hukum internasional.
Namun publik mafhum ini bukan kali pertama Riza sulit dijangkau hukum. Ia selalu berhasil lolos dari jeratan. Pertanyaannya kini: apakah hukum Indonesia cukup kuat kali ini untuk memulangkannya?
Momentum Perubahan atau Skandal yang Dilupakan?
Lebih dari sekadar nominal kerugian, skandal ini membuka borok tata kelola migas nasional yang selama ini rawan rekayasa dan persekongkolan. Di sektor strategis yang menyangkut hajat hidup rakyat, kebocoran sebesar ini menjadi luka mendalam.
Kini, bola panas berada di tangan aparat hukum dan pemerintah. Publik menanti: apakah ini akan menjadi titik balik pembenahan sektor energi, atau sekadar satu dari deretan skandal besar yang menguap begitu saja?
“Kalau yang ini tidak tuntas, jangan harap skema-skema serupa berhenti. Angka bisa lebih besar lagi di masa depan,” kata seorang mantan pejabat migas yang enggan disebut namanya.(Bar/Red)
Catatan Editor: Kasus ini akan terus kami pantau seiring perkembangan penyidikan, proses ekstradisi, dan dampaknya terhadap kebijakan energi nasional./ Dilansir dari berbagai sumber/liranews