Haidar Alwi: Perlu Forum Konsultatif Multipihak dalam Sengketa Empat Pulau

liratv.id – Sengketa batas wilayah antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara atas empat pulau: Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, bukan sekadar konflik administratif.

Reaksi keras dari masyarakat Aceh Singkil terhadap keputusan Menteri Dalam Negeri yang menetapkan keempat pulau sebagai bagian dari Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, menunjukkan bahwa keputusan legal saja tidak cukup. Rasa keadilan masyarakat, identitas kultural, dan narasi sejarah lokal tak bisa diselesaikan lewat SK semata.


R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menyampaikan bahwa pengambilalihan penyelesaian kasus ini oleh Presiden Prabowo Subianto adalah langkah strategis, namun harus disertai dengan pendekatan yang lebih inklusif dan historis.

Bagi Haidar Alwi, keputusan yang hanya berbasis dokumen administratif justru berpotensi menciptakan luka kolektif baru jika tidak menyentuh dimensi psikososial masyarakat.

“Masalah ini bukan sekadar peta dan titik koordinat. Ini tentang rasa memiliki, identitas komunitas, dan sejarah panjang yang tidak pernah benar-benar selesai,” tegas R. Haidar Alwi.

Data Berbeda, Persepsi Berseberangan.

Konflik bermula dari pencatatan jumlah dan nama pulau oleh Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi sejak tahun 2008.

Sumut memasukkan keempat pulau dalam daftar, sedangkan Aceh tidak, karena menggunakan nama-nama lokal seperti Malelo dan Rangit Besar.

Ketidaksinkronan ini menimbulkan keraguan publik terhadap proses validasi data spasial yang seharusnya terbuka dan partisipatif.

Sejak 2008 hingga 2025, berbagai mekanisme administratif telah ditempuh: mulai dari verifikasi data, surat-menyurat antar gubernur, hingga analisis spasial Kemendagri.

Bahkan keputusan administratif pun sudah dikeluarkan. Namun kenyataannya, tidak satu pun dari langkah-langkah tersebut berhasil mengakhiri sengketa secara damai dan final. Ini menunjukkan adanya kekosongan pendekatan yang selama ini gagal menyentuh dimensi sosial dan kultural masyarakat lokal.

Bagi Haidar Alwi, inilah kesalahan awal: ketidakterlibatan masyarakat adat dalam proses verifikasi. Padahal, wilayah bukan hanya soal garis di peta, tetapi juga tentang struktur makna dalam kehidupan warga.

“Negara bekerja dalam logika formal. Tapi rakyat hidup dalam logika sejarah dan pengalaman. Kalau dua hal ini tidak disambungkan, yang timbul hanya ketegangan,” ujarnya.

Forum Konsultatif: Jalan Tengah yang Konstruktif.

R. Haidar Alwi menyarankan agar Presiden Prabowo Subianto segera membentuk forum konsultatif multipihak yang tidak hanya melibatkan unsur pemerintah, tetapi juga kekuatan keilmuan dan representasi masyarakat sipil yang relevan.

Forum ini sebaiknya terdiri dari:

– Pejabat eksekutif pusat dan daerah, termasuk Kemendagri, Gubernur Aceh dan Sumut, serta Bupati wilayah terdampak.

– Tokoh adat dan pemuka masyarakat lokal.

– Lembaga pemetaan nasional seperti Badan Informasi Geospasial (BIG), BRIN, dan Tim Verifikasi Data Spasial independen.

– Akademisi dari perguruan tinggi yang memiliki spesialisasi dalam hukum tata negara, sejarah lokal, resolusi konflik, antropologi budaya, dan kajian batas wilayah.

– Komnas HAM dan Ombudsman RI sebagai pengawas keadilan dan akuntabilitas publik.

– Perwakilan Komisi II DPR RI dan anggota DPD RI dari Aceh dan Sumut.

– Fasilitator independen dari lembaga masyarakat sipil kredibel seperti Wahid Foundation, AMAN, atau pusat studi perdamaian dari universitas-universitas besar.

Bukan hanya untuk menjawab “di mana batasnya”, tetapi juga “apa arti pulau itu bagi masyarakatnya”.

“Forum ini bisa menjadi preseden nasional jika berhasil. Ini bukan hanya tentang Aceh dan Sumut, tetapi tentang bagaimana Indonesia menyelesaikan konflik wilayah secara bermartabat,” kata Haidar Alwi.

Risiko Jika Pendekatan Tidak Diubah.

Haidar Alwi dengan tegas mengingatkan, jika penyelesaian tetap hanya mengandalkan jalur formalistik, maka ada tiga potensi krisis yang bisa terjadi:

1. Penolakan administratif dari masyarakat dalam bentuk gugatan hukum dan aksi protes.

2. Perlawanan sosial budaya, di mana masyarakat tetap memegang klaim adat dan sejarah lisan yang berbeda dengan keputusan negara.

3. Eksploitasi politik, yang bisa memanfaatkan isu ini untuk membakar emosi sektarian atau kepentingan sempit elektoral.

“Kita tidak sedang menata angka statistik. Kita sedang mengelola emosi sejarah,” ujarnya tajam.

Prabowo dan Ujian Kepemimpinan Berbasis Rasa.

Turunnya Presiden Prabowo dalam isu ini disambut sebagai bentuk political will yang tegas. Namun Haidar Alwi menekankan bahwa ketegasan tanpa kebijaksanaan hanya akan mengganti wajah dari masalah lama.

Jika Presiden mampu mengarahkan penyelesaian yang menyentuh substansi keadilan, maka ia akan dikenang sebagai pemimpin yang mengembalikan martabat negara di mata rakyat kecil.

“Prabowo bisa menjadikan penyelesaian ini sebagai warisan kepemimpinan yang damai, adil, dan strategis. Tapi hanya jika ia mengubah pendekatannya, dari instruksi ke partisipasi,” kata R. Haidar Alwi.

Saatnya Negara Mendengar Sebelum Menetapkan.

R. Haidar Alwi mengajak semua pihak untuk mendorong pendekatan baru dalam penyelesaian sengketa empat pulau. Bagi beliau, keadilan bukan hanya hasil akhir, tetapi juga cara negara mendengarkan sebelum memutuskan.

“Kini saatnya masyarakat sipil dan tokoh adat turut menyuarakan pentingnya penyelesaian damai berbasis sejarah dan keadilan. Negara harus hadir, bukan hanya menetapkan, tapi merangkul dan menyembuhkan. Pulau bisa dicatat ulang, tapi rasa keadilan harus dibangun bersama.”

Mau punya Media Online sendiri?
Tapi gak tau cara buatnya?
Humm, tenang , ada Ar Media Kreatif , 
Jasa pembuatan website berita (media online)
Sejak tahun 2018, sudah ratusan Media Online 
yang dibuat tersebar diberbagai daerah seluruh Indonesia.
Info dan Konsultasi - Kontak 
@Website ini adalah klien Ar Media Kreatif disupport 
dan didukung penuh oleh Ar Media Kreatif

banner 728x90