KOMUNIKASI politik Presiden Prabowo beri tafsir sikap ambigu: antara mati-matian untuk penghidupan rakyat, dan sehidup semati bersama Jokowi.
Sikap itu yang ditangkap publik ketika Prabowo mengumandangkan “Hidup Jokowi” di tengah riuh publik menyuarakan “Adili Jokowi” setelah sebelumnya Prabowo umbar janji berbuat mati-matian demi rakyat.
Oleh sementara pemerhati politik bertafsir: Prabowo sedang melakukan _test the water_, seberapa kuat dukungan terhadap keinginan dan tuntutan rakyat untuk mengadili Jokowi atas dugaan kejahatan korupsi, kolusi, nepotisme, dan kejahatan konstitusi.
Tapi pemerhati lain memotret, Presiden Prabowo dan mantan presiden ke-7 itu senyawa. Sulit diurai, apalagi dipisahkan. Bak air dengan ikan.
Atmosfer politik Indonesia memang bak penuh asap. Sebagian masyarakat beranggapan asap itu putih saja. Normaly. Tapi sebagian justru melihat ada asap gelap, hitam pekat, menyelimuti Indonesia.
So, disitu terpotret bahwa langkah politik Presiden Prabowo antara hitam dan putih. Grey, abu-abu. Tetapi, apa iya seorang jenderal eks komandan jenderal kopasus berpolitik abu-abu? Yah, begitulah politik, tidak gampang ditebak. Lain panggung depan, lain pula panggung belakang.
Meski begitu, perlu berpikir jernih dan berempati pada posisi Presiden Prabowo. Dalam pidato awal dilantik, Prabowo tandas menyatakan akan berantas tuntas korupsi. Bahkan akan ia kejar koruptor sampai ke Antartika.
Ia juga menyatakan akan menjalankan pemerintahan yang jujur, bersih, adil, mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat. Ini tentu suatu keinginan yang luhur nan mulia.
Narasi pidato seorang presiden macam itu sontak membuat rakyat tersanjung, bersukacita. Rakyat ditaburi cahaya terang gemilang. Namun, tak berapa lama, justru di hari Ultah partainya, Gerindra, pidato Prabowo membuat langit Indonesia dirasakan gelap.
Dari mimbar podium ultah Gerindra ke-17 yang digelar di ICC Sentul Bogor, 15 Februari 2025, Presiden Prabowo menyanjung Jokowi dengan teriakan gelegar: “Hidup Jokowi, Hidup Jokowi, Hidup Jokowi”. Sanjungan ini disambut riuh applaus massa Gerindra. Dan, Prabowo pun minta applaus lebih keras gegap gempita.
Momen itulah membuat publik, di antaranya mahasiswa, masyarakat sipil, yang menuntut Jokowi diadili, seketika merasakan kegelapan. Kegelapan setelah senoktah terang dibersitkan Prabowo akan mati-matian untuk kepentingan rakyat, bukan untuk bersama penzalim rakyat.
“Indonesia Gelap” adalah dua penggalan kata yang trending memenuhi atmosfer ruang publik saat ini. Namun jika dipercaya bahwa diksi itu adalah doa sebagai cerminan prasangka hamba-hamba Allah, tentu nurani kita tak menginginkan kegelapan itu terjadi. Masih ada langkah lobi-lobi politik sebelum memobilisasi rakyat berdemo besar-besaran dalam bentuk gerakan revolusi di tengah Indonesia Gelap.
Untuk itu kekuatan elitis yang tak sehaluan dengan Presiden Prabowo seyogianya bisa dihimpun menjadi modal sosial untuk dapat diubahnya menjadi modal politik mencapai tujuan politik.
Di situlah kemampuan elitis dan masyarakat diuji untuk menegosiasikan langkah politik. Sehingga, Presiden Prabowo dengan kekuatan kekuasaan sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara dapat diajak bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama mewujudkan keinginan ideal rakyat Indonesia.
Di titik itulah modal politik Presiden Prabowo bisa didorong agar akumulasi seluruh sumber daya dan kekuasaan yang dimilikinya dapat didayagunakan mengakomodasi pesan-pesan elitis di masyarakat.
Negosiasi politik adalah langkah terbaik apabila elit masyarakat bertemu langsung Presiden Prabowo untuk membicarakan bersama solusi apa yang diinginkan rakyat.
Pada momentum itulah Presiden Prabowo perlu mendengar nasehat atau masukan dari elitis rakyat, tidak semata mendengar dari lingkaran terdekatnya yang berbeda kiblat dengan opini yang berkembang di masyarakat.
Fakta empiris selama ini, jika hanya dengan demo-demo tanpa pihak-pihak yang berkompeten ingin memajukan kebaikan bangsa dan negara ini, maka hanya sebatas berkoar-koar di luar tanpa membawa hasil. Jajaran elit politik dan pemimpinnya pun seringkali bebal, mati hati nuraninya, tak peduli akan teriakan dan jeritan rakyat.
Para elitis rakyat yang di luar pemerintahan, penting duduk bareng Presiden Prabowo. Ini langkah arif, bijaksana dan hikmah, yang diharapkan mengubah pendulum politik Presiden Prabowo ke arah lebih baik. Melalui pendekatan ini, sangat mungkin Prabowo akan terbuka mata hatinya.
Langkah dialog atau pertemuan dari hati ke hati antara elitis rakyat dengan presiden pun adalah bagian dari perjalanan besar membangun Indonesia dengan gagasan “Revolusi Rakyat Indonesia” yang dijiwai semboyan Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera). Sebuah gagasan dan semboyan yang digelorakan Bung Karno untuk merengkuh keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Dalam konteks kekinian, perjuangan membebaskan rakyat dari ketertindasan dan penderitaan yang diakibatkan oleh kuatnya oligarki pebisnis mengintervensi pemerintahan dan negara, menggambarkan telah terjadi penjajahan ekonomi, politik dan sosial.
Penindasan-penjajahan itu, bahkan mengancam kedaulatan negara yang menjadi fokus perhatian dan perlawanan rakyat, hingga menganggap Jokowi pantas dan harus diadili. Ya, Jokowi yang ditengarai berpelukan mesra dengan oligarki busuk, menyebabkan kerusakan masif sendi-sendi bernegara.
Hari hari ini, kita masuki bulan suci puasa Ramadhan 1446 Hijriyah. Berharap, bulan penuh Rahmat dan Barokah ini mentadaburi politik kebangsaan kita, agar tercerahkan di bawah cahaya terang, terjauhkan dari prasangka Indonesia Gelap.
OLEH: S. Purwadi Mangunsastro, Ir. MM
Direktur Eksekutif Yayasan Al Farizi Nusantara / Sekjen Partai Daulat Kerajaan Nusantara.