Jakarta, LiraTV.id — Direktur Eksekutif Lembaga Survei Poltracking Indinesia, Hanta Yudha akan dipolisikan Ormas Madas (Madura Cerdas) Nusantara karena dinilai menyebar berita hoaks (bohong) dan rekayasa hasil survei Pilkada Jakarta 2024.
Ketua Umum Ormas Madas Nusantara, HM. Jusuf Rizal menilai Hanta Yudha sebagai direktur eksekutif lembaga survei Poltracking Indonesia telah melanggar Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) khususnya Pasal 28 Ayat 3.
Kepada media di Jakarta, Jusuf Rizal menuturkan kronologi yang melatarbelakangi upaya proses hukum terhadap Hanta Yudha atas dugaan penyebaran berita bohong/rekayasa survei Pilkada Jakarta.
Bermula dari kontrversi adanya perbedaan hasil survei yang sangat jomplang dari dua lembaga, yakni Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Poltracking Indonesia. Padahal dua lembaga ini melakukan survei dalam waktu yang berbarengan. (LSI pada 10-17 Oktober, sementara Poltracking pada 10-16 Oktober).
Lembaga Survei Indonesia (LSI) menerbitkan hasil survei elektabilitas Pasangan Ridwan Kamil-Suswono 37,4 persen, Dharma-Kun (6,6 persen), Pramono-Rano (41,6 persen). Belum menentukan pilihan (14,4 persen). Selisih antara Ridwan Kamil-Suswono dengan Pramono-Rano hanya 4 persen.
Sementara Poltracking menerbitkan hasil survei untuk Ridwan Kamil-Suswono 51,6 persen, Dharma-Kun (3,9 persen), Pramono-Rano (36,4 persen) dan yang belum menentukan pilihan (8,1 persen). Selisih antara Ridwan Kamil-Suswono dengan Pramono-Rano sebesar 15,2 persen.
Perbedaan hasil survei yang mencolok itu mendapat sorotan dari Dewan Etik Perkumpulan Survei dan Opini Publik Indonsia (Persepi).
Dalam pemeriksaannya kepada LSI dan Poltracking, Dewan Etik Persepi terdiri dari Prof. Asep Saefuddin, Ph.D (Ketua), Prof.Dr. Hamdi Muluk dan Prof. Saiful Mujani, PH.D (Anggota) menemukan adanya pelanggaran oleh Poltracking.
Dewan Etik Persepi melalui keterangan tertulis yang telah dirilis media, memberikan sanksi kepada Poltracking Indonesia, untuk kedepan tidak diperbolehkan mempublikasikan hasil survei tanpa lebih dahulu mendapatkan persetujuan dan pemeriksaan data oleh Dewan Etik Persepi.
“Jadi dalam kasus survei ini, Ormas Madas Nusantara menilai sudah ada dua alat bukti adanya pelanggaran hukum yang dilakukan Hanta Yudha selaku Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia, yaitu hasil survei dan sanksi dari Dewan Etik Persepi,” tegas Jusuf Rizal, pria berdarah Madura-Batak penggiat anti korupsi itu.
Bukankah menurut Hanta Yudha survei yang dilakukan Poltracking sudah sesuai standar operasional prosedur (SOP) yang ada?
Begitu pula hasil survei yang dipublikasikan juga telah melalui aturan dan proses yang benar? tanya media.
Menjawab pertanyaan itu, Jusuf Rizal yang juga Presiden LSM LIRA (Lumbung Informasi Rakyat) itu berseloroh santai: “di Indonesia mana ada maling yang ngaku,” katanya.
Bagi Jusuf Rizal, apapun bantahan Hanta Yudha harus dibuktikan dalam proses hukum. Apakah hasil surveinya benar atau rekayasa keberpihakan pada salah satu calon Gubernur Jakarta, sehingga outputnya adalah penyebaran berita bohong (hoaks).
Jusuf Rizal mengingatkan, hasil survei bayaran yang tidak benar merupakan kejahatan intelektual, menipu rakyat, menyesatkan, menimbulkan kegaduhan dan keributan serta kerugian bagi masyarakat.
Keputusan Dewan Etik Persepi, kata Jusuf Rizal, adalah produk hukum atas hasil survei yang tidak benar.
“Rakyat selama ini banyak disuguhkan dengan hasil-hasil survei bayaran yang tidak independen. Baik di Pilpres maupun Pilkada. Rakyat sudah muak, karenanya cara-cara busuk itu harus dihentikan. Harus diproses hukum agar ada efek jera. Penjarakan penipuan dari survei,” tegas Jusuf Rizal, yang juga Ketum Indonesian Journalist Watch (IJW) itu.
Disebutkan kasus ini menarik karena selama ini lembaga survei bayaran tidak pernah diproses hukum atas dasar penyebaran informasi/berita bohong.
Nah, untuk pembuktian benar atau salah sebuah lembaga survei, nanti bisa dilakukan pemeriksaan digital forensik maupun metode survei. Tim ahli juga dapat dimintai pendapat tentang adanya dugaan rekayasa hasil survei.