Jakarta, LiraTV.id – Akademisi Unair Airlangga Pribadi menganggap proses pemeriksaan Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memuat permasalahan dari sisi etika.
Sebab, kata dia, seorang penyidik KPK Kompol Rossa Purbo Bekti terekam memeriksa staf Hasto, Kusnadi dengan cara mengelabui.
“Iya, kalau seperti itu memang itu menunjukkan ada problem etis terkait dengan pemeriksaan Mas Hasto kemarin di KPK, artinya di situ kompol (Rossa, red) sebagai penyidik ya, penyidik sendiri itu pertama sudah melakukan kebohongan. Artinya, kemudian ternyata tidak dipanggil oleh Mas Hasto,” kata Airlangga kepada awak media, Selasa (11/6/2024).
Sebelumnya, Kusnadi memang menjadi sosok yang mendampingi Hasto yang diperiksa sebagai saksi dalam kasus suap Harun Masiku di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Senin (10/6/2024) kemarin.
Kusnadi berada di lantai dasar ketika Hasto sedang menjalani pemeriksaan oleh penyidik di sebuah ruang di Gedung KPK.
Namun, seseorang menggunakan topi dan masker yang belakangan diketahui sebagai Kompol Rossa, mendekat ke Kusnadi dengan alasan dipanggil Hasto.
Kusnadi rupanya tidak bertemu Hasto di lantai dua Gedung KPK dan yang bersangkutan malah diperiksa secara paksa serta barang bawaan disita.
Selain bermasalah dari sisi etika, Airlangga menganggap tindakan Kompol Rossa kepada Kusnadi menunjukkan aksi kesewenang-wenangan penyidik KPK dalam mengusut perkara.
“Hal itu kemudian menjadi pemaksaan dan sebenarnya sudah terkait dengan di situ kelihatan bahwa penyidik sudah melampaui otoritas yang ada pada dirinya. Nah, ini, kan, merupakan bentuk perilaku kesewenang-wenangan dalam hukum, dimana kemudian justru melanggar supremasi hukum itu sendiri yang harus ditegakkan,” kata Airlangga.
“Peristiwa Kompol Rossa menyidik paksa Kusnadi dengan cara mengelabui menyiratkan proses hukum ke Hasto kental muatan politik”
Terlebih lagi, katanya, KPK saat ini menjadi lembaga di bawah eksekutif yang berpotensi digunakan untuk menghantam suara kritis menggunakan alat hukum.
“Kalau saya, sih, melihat bahwa potensi bagi terjadinya kriminalisasi politik dalam kasus yang dihadapi Mas Hasto itu sangat mungkin, karena sudah sejak lama saya melakukan kritik bahwa konsekuensi dari Revisi Undang- Undang Komisi Tindak Pemberantasan Korupsi, jadi Undang-Undang nomor 19 tahun 2019, yang kemudian mensubordinasi KPK di bawah eksekutif, presiden, yang tadinya independen, itu sangat rentan sekali membuat KPK sebagai alat kekuasaan untuk menghantam kekuatan-kekuatan politik yang berbeda, bertindak dengan dirinya, ya, memang ini bagian dari konsekuensi proses tersebut, di mana kemudian yang saya bilang rentannya KPK sebagai alat dari presiden, alat dari kekuasaan, ini, kan, yang harus diperbaiki,” lanjut dia.
“Artinya kasus yang dihadapi oleh Mas Hasto itu adalah lapisan, semata-mata lapisan gunung es dari salah urus, pembalikan reformasi dalam regulasi kita terkait dengan pemberantasan korupsi,” kata dosen departemen politik di FISIP Universitas Airlangga, Surabaya itu.