Jakarta, LiraTV.id – Guru Besar Universitas Airlangga, Prof. Dr. Ramlan Surbakti mengatakan penilaian beres atau tidaknya pelaksanaan pemilu Indonesia 2024 bisa mengacu pada temuan peneliti internasional menyangkut adanya manipulasi yang terjadi atau tidak.
Menurut Ramlan, seluruh proses Pemilu tak hanya melibatkan 11 tahapan aturan yang telah ditetapkan oleh penyelenggara. Namun sejatinya bahwa proses Pemilu juga melibatkan jutaan orang, tidak hanya pemilih, calon dan pendukungnya. Tapi juga menyita anggaran besar negara yang ditaksir hingga ratusan triliun rupiah.
Bahkan, disimpulkan proses penyelenggaraan Pemilu itu memerlukan pengorganisasian warga negara terbesar satu negara dan pengadaan besar logistik pemilu.
Sehingga, Ramlan mengingatkan bahwa Pemilu tak bisa dipandang dari hasilnya saja. Tapi justru proses Pemilu itu sendiri yang harus dilihat sebagai suatu hal penting demi menjaga demokrasi.
Hal itu disampaikan Ramlan Surbakti saat bersidang dalam kegiatan ‘Sidang Pendapat Rakyat untuk Keadilan Pemilu 2024’ yang digelar PP Muhammadiyah di kawasan Menteng, Jakarta, Jumat (19/4/2024).
“Karena itu menilai Pemilu 2024 (tidak) hanya dari hasilnya saja itu menurut saya (jauh) dari hakekat pemilu sendiri sebagai salah unsur dari demokrasi dan demokrasi perwakilan,” tegas Ramlan.
Hadir dalam kesempatan itu, Pemikir Kebhinekaan, Dr. Sukidi; Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof. Dr. Siti Zuhro; dan Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, Prof. Dr. Sulistyowati Irianto.
Hadir juga melalui sambungan Zoom dari Yogyakarta, yakni Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dr. Busyro Muqoddas; Rektor UII Yogyakarta, Prof. Fathul Wahid, dan Guru Besar Hukum Tata Negara UGM Yogyakarta, Prof. Dr. Zainal Arifin Mochtar.
Lebih lanjut, Ketua KPU RI periode 2004-2007 pun memotret bagaimana proses penyelenggaran Pemilu 2024 yang terjadi baru-baru ini.
Dia kemudian mengingat proses pengadilan Pemilu di Malaysia dan saat itu menggunakan buku yang ditulis Prof. Sarah Beards tentang Elektoral Malapraktik atau Malapraktik Pemilu.
Di mana, kata Ramlan, terungkap tiga tipologi Malapraktik. Yakni, pertama, manipulasi hukum pemilu. Kedua, manipulasi pilihan pemilih. Dan ketiga, manipulasi hasil pemilu.
“Nah, kalau menggunakan teori rangka Prof. Sarah Beards ini, berarti saya menyarankan agar menilai Pemilu 2024, dalam waktu ada singkat, itu dilihat dari apakah ada manipulasi pilihan pemilih, dan manipulasi hasil pemilu. Atau dalam bahasa populernya itu, proses pemilu yang digunakan untuk menilai hasil pemilu, hasilnya itu adalah, tahapan-tahapan yang dipengaruhi langsung, hasil pemungutan suara,” paparnya.
Dia pun mencontohkan, manipulasi pilihan pemilu, yakni menggunakan anggaran publik, anggaran negara untuk memperngaruhi pilihan, menggunakan aparat negara apa itu TNI-Polri & ASN. Bahkan memberikan atau menjanjikan uang dan atau materi, sembako, untuk mempengaruhi pemilu.
“Itu akan mempengaruhi, dan aparat memberikan ancaman terhadap pemilih. Itu menurut saya harus diperhitungkan, karena langsung mempengaruhi pilihan Pemilu. Akhirnya pemilu tidak bisa memberikan suara sesuai dengan pilihan hatinya. Tapi karena uang, ancaman aparat dan sebagainya,” terangnya.
Dalam kesempatan yang sama,
Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia (UI) Prof. Sulistyowati Irianto menilai sidang sengketa pemilu yang berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan ajang untuk menguji apakah Indonesia masih negara yang memegang asas hukum.
“Sidang MK bagi saya bukan sekedar sidang mengadili perselisihan pemilu tapi sidang apakah negara hukum Indonesia masih bisa berlangsung,” kata Sulistyowati
Menurut Sulistyowati, proses sidang sengketa di MK ini harus memenuhi tiga unsur jika Indonesia masih mematuhi konstitusi yang berpihak kepada rakyat.
Unsur pertama, yakni persidangan di MK harus menghasilkan putusan yang jelas sehingga dapat dimengerti seluruh masyarakat.
Kedua, putusan haruslah bisa diperkirakan masyarakat berdasarkan dinamikanya persidangan. Dengan demikian, putusan tidak terkesan diatur oleh pihak tertentu.
“Tidak berdasarkan kehendak perorangan, kita lihat debat-debat di MK, bagaimana analisisnya yang kita harapkan pertimbangan putusan keluar dengan seusianya yang kita saksikan bersama,” jelas Sulistyowati.
Unsur terakhir, lanjutnya, MK harus menjadi badang independen yang dapat memisahkan antara kekuasaan dan penegakan hukum.
Hal tersebut akan terlihat dari putusan hukum yang akan diproduksi MK dalam sengketa pemilu tahun ini.
Di sini, lanjutnya, para hakim MK harus membuat putusan dengan ideal dan berlandaskan hukum tanpa adanya tekanan dari pihak manapun.
Sehingga, masyarakat pada akhirnya akan tetap mempercayai MK sebagai garda terakhir dalam mencari keadilan.
“Hakim MK sebagai guardian punya kewenangan besar untuk memastikan meskipun langit runtuh, Konstitusi Indonesia harus tetap tegak,” tegas Sulistyowati.