Oleh: Gugun El Guyanie
Sekretaris Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta/ Direktur Lex Humana Institute
Jakarta, LiraTV.id – Pernyataan presiden Jokowi bahwa dia boleh memihak dan boleh kampanye dalam pemilu jelas menabrak daulat hukum dan daulat rakyat.
Doktrin Electoral Justice atau keadilan pemilu mengajarkan agar kerangka hukum pemilu didesain untuk mencegah kekuasaan agar tidak dimanfaatkan untuk mendukung pemenangan kontestasi.
Apalagi Presiden dalam posisi conflict of interest, karena anak kandungnya sebagai cawapres.
Presiden tidak mengucapkan keberpihakan pun, itu mustahil, karena posisinya memang sudah tidak netral, potensial berpihak, berpeluang menggunakan instrument kekuasaan untuk keluarganya yang menjadi kontestan pilpres. Itu sudah jelas merusak doktrin electoral justice.
Menurut International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), salah satu unsur untuk mewujudkan keadilan pemilu adalah budaya politik untuk menjunjung tinggi instrument hukum dan demokrasi.
Ini bukan hanya tugas penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu, juga bukan hanya tugas partai politik, tetapi tanggung jawab semua warga negara.
Tapi bagaimana mungkin elemen warga negara mau menegakkan hukum dan demokrasi kalau presiden secara eksplisit dan implisit mendeklarasikan keberpihakan, menginjak prinsip netralitas penyelenggara negara.
Bahkan pernyataan presiden bisa berpotensi menyulut gelombang besar tidak netralnya aparatur penyelenggara negara.
“Sangat berbahaya, karena yang diucapkan presiden bisa diikuti oleh para gubernur, bupati, panglima TNI dan Polri”
Kalau ini sudah terjadi, ancaman terhadap runtuhnya pemilu yang berkeadilan/ electoral justice sudah telanjang di depan mata.
Presiden jangan hanya menampilkan baju kebesaran politik saja, presiden juga harus mengenakan baju kebesaran sang ratu adil sebagai simbol head of state yang harus netral dalam pertandingan politik, netral dari dukung-mendukung, tanpa kehilangan hak politiknya sebagai warga negara.
Netralitas presiden bukan hanya menentukan pemilu berjalan adil, tapi juga menjadi penentu tegak atau runtuhnya simbol negara, berwibawa atau tidaknya istana.
Tetapi presiden sudah terlanjur tidak netral setelah anak mbarep-nya resmi ikut masuk lapangan pertandingan.