Jakarta, LiraTV.id – “Ini bukan tentang Ganjar, bukan tentang seorang Mahfud, bukan pula tentang kekuasaan, bukan sama sekali. Ini tentang seluruh rakyat Indonesia.”
Itulah penggalan kalimat yang diucapkan oleh Ganjar Pranowo di hadapan seluruh rakyat Indonesia pada tanggal 18 Oktober 2023 saat dirinya dideklarasikan secara resmi oleh PDI Perjuangan, bersama Mahfud MD.
Sepotong kalimat yang menjadi janji. Kemudian menjadi mantra, yang begitu terngiang di kepala banyak orang, tentang pemilihan presiden 2024.
Pilpres, hajatan demokrasi yang demikian kental pada perebutan kuasa, memang membutuhkan upaya besar.
Logika politik elektoral hari ini kerapkali menuntut logistik besar. Kampanye, alat peraga, media komunikasi, semuanya membutuhkan biaya tidak murah.
Kekuasaan pasti menggiurkan bagi siapa saja. Demi melayani kepentingan diri sendiri.
Tetapi dalam kalimat itu, kekuasaan diarahkan pada imajinasi tentang bangsa, yang mencakup ratusan juta jiwa rakyat, yang merentang di bentangan sejarah berabad-abad lamanya.
Bisa jadi banyak orang bertanya: “bagaimana mungkin?”
Di tengah beragam praktek kuasa yang dipertontonkan kepada rakyat guna melayani ambisi pribadi, keluarga, dan kroni elite, ketulusan janji menjadi sulit dipercaya.
Namun janji tetaplah sebuah janji. Jejak yang sudah terekam dalam prasasti sejarah.
Teladan Mata Hati Politik
Sekian puluh tahun yang lalu, mungkin tidak terbayang bagi Ganjar Pranowo, putra Letnan Satu Parmudji bahwa dirinya suatu hari kelak akan bisa dicalonkan sebagai calon Presiden RI.
Demikian pula dengan Mohammad Mahfud Mahmodin kecil kala ia belajar di sebuah makam cina di kampung halamannya sebab di rumah tidak ada penerangan. Menjadi calon wakil presiden tentu adalah mimpi yang sulit untuk berani ia bayangkan sekalipun.
Tetapi kisah itu bukanlah sebuah kisah tunggal. Merentang dari Sabang sampai Merauke, anak-anak bangsa yang lahir dari rahim rakyat satu persatu dididik dan dikader menjadi pemimpin yang tidak meninggalkan sumbernya.
Publik menyaksikan lahirnya kepemimpinan Tri Rismaharini di Surabaya, Abdullah Azwar Anas di Banyuwangi, Hendrar Prihadi di Semarang, Basuki Tjahaja Purnama.
Lalu susul menyusul generasi berikutnya: M. Nur Arifin, Eri Cahyadi, Hanindhito Pramono, Sutan Riska di Dharmasraya, Andrei Angouw di Manado, dan demikian banyak bibit-bibit kepemimpinan di bentangan Nusantara.
Adalah kenegarawanan seorang Megawati Soekarnoputri yang memungkinkan kisah-kisah itu terjadi.
Putri Proklamator itu bisa saja menempuh karpet merah kekuasaan jika ia ingin.
Tetapi keteguhan mata hati politik yang ia yakini membuatnya menempuh jalan perjuangan, meski seringkali mengandung konsekuensi.
Ibu Megawati mendirikan partai dengan begitu banyak pengorbanan, melawan rezim Orde Baru yang represif.
Dirinya tampil sebagai sosok politisi perempuan yang jantan dan ksatria, menyatu dengan rakyat yang mencintainya.
Kuyo-kuyo kekuasaan dan pengkhianatan politik kenyang dirasakannya.
Saat partainya akhirnya memenangkan pemilu beruntun baik di eksekutif maupun legislatif bertahun-tahun kemudian, ia memilih untuk mendidik kadernya terus turun ke bawah. Menangis dan tertawa bersama rakyat.
Dalam beragam epos politik yang membahayakan, ia memilih menempuh jalur hukum untuk menghadapi tekanan kekuasaan. Bukan membenturkan rakyat.
Saat dihadapkan pada pilihan mengambil jalan praktis melanggengkan kekuasaan, ia memilih menempuh jalur kaderisasi dengan mendirikan sekolah partai.
Keputusan yang membuka ruang bagi siapapun anak bangsa untuk berkontestasi secara sehat, tidak dengan logika kongkalikong atau pembajakan transaksional.
Keteladanan politik itu semata-mata demi merengkuh cakrawati ideologi Pancasila yang diajarkan oleh Bung Karno.
Selama puluhan tahun keteladanan itu ditunjukkan tanpa jeda. Ia dapat menjadi ibu yang mengayomi di masa damai, ia mampu pula berteriak lantang membela kebenaran kala nilai-nilai yang diyakini oleh bangsa ini terancam.
Dua putra-putrinya, Prananda Prabowo dan Puan Maharani juga turut melayani bangsa melalui jalur politik yang mereka tempuh. Tidak dengan cara-cara yang melanggar etika dan melecehkan akal sehat, tetapi melalui jalur pengabdian yang berproses.
Untuk itu, Ibu Mega tidak hanya menjadi penjaga ideologi dan konstitusi, ia mendidik bangsa untuk berani menjadi jantan: Satunya kata dan perbuatan.
Lentera Kepemimpinan
Maka, janji yang diucapkan oleh Ganjar Pranowo menjadi relevan. “Ini tentang Indonesia.”
Dari keteladanan kepemimpinan yang diberikan oleh Ibu Megawati Soekarnoputri, pilpres adalah tentang menjaga sejarah dan masa depan Indonesia.
Bicara tentang Pilpres tidaklah bicara tentang kelanggengan kekuasaan demi diri sendiri atau keluarga yang cenderung menghalalkan segala cara.
Bicara tentang Pilpres adalah bicara tentang Tari Saman di Aceh, Danau Sentani di Jayapura, dan Manuk Dadali-nya Jawa Barat.
Pilpres adalah mekanisme demokrasi untuk merotasi kekuasaan, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana kemenangan itu dicapai dan apa yang akan diperjuangkan setelah meraihnya.
Jika kekuasaan itu dimenangkan melalui cara-cara tidak beradab dan nir-etika, nihil lah seluruh fondasi pun orientasinya.
Tidak mungkin seorang pemimpin bisa berjuang untuk kesejahteraan rakyatnya apabila kekuasaan yang ia peroleh didapatkan melalui cara-cara yang inkonstitusional.
Sebaliknya, pemimpin yang keblinger dengan kekuasaan tidak mungkin memimpin rakyat dengan mata hati yang jernih.
Kekuasaan memang mengandung dua sisi terang dan gelap. Namun pesan RA Kartini menembus jaman. “habis gelap, terbitlah terang.”
Seakan-akan Ibu Mega menangkap pesan sejarah kala pertama kali menetapkan Ganjar Pranowo sebagai Calon Presiden yang diusung PDI Perjuangan di Istana Batutulis pada tanggal 21 April 2023, tepat saat peringatan Hari Kartini.
Hari ini, Ibu Megawati Soekarnoputri berulang tahun yang ke-77. Intuisinya tetap tajam, kepemimpinannya menginspirasi lintas generasi, suaranya tetap lantang untuk negeri: Satyameva Jayate. Kebenaran pasti menang.
Selamat ulang tahun, Ibu Mega. Terimakasih untuk lentera kepemimpinan yang terus memantik asa.
Oleh: Aryo Seno Bagaskoro
Aktivis/Generasi Muda