JAKARTA – Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menyatakan masyarakat bisa memahami politik saat ini dengan berkaca pada lakon wayang Wahyu Cakraningrat.
Hal itu disampaikan Hasto saat menghadiri undangan wayangan dengan lakon Wahyu Cakraningrat, dalam rangka peringatan Sumpah Pemuda di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Jakarta, pada Jumat (27/10/2023) malam.
Hasto pun mengingatkan bahwa momentum Sumpah Pemuda adalah refleksi untuk mengingat bahwa peranan para pemuda dalam berdirinya negara Indonesia sangatlah fundamental. Adapun pagelaran wayang yang diadakan di ANRI ini, lanjut Hasto, untuk menggambarkan bagaimana kepeloporan para pemuda dalam menjadikan Indonesia yang satu.
“Dalam rangka Sumpah Pemuda diadakan pagelaran wayang kulit ini, untuk mengingat bahwa para pemuda Indonesia menjadi pelopor yang sangat baik bagi berdirinya Indonesia raya kita. Sebagai bangsa yang satu, tanah air satu, dalam persatuan Indonesia,” kata Hasto.
Peraih gelar doktor dari Universitas Pertahanan (Unhan) RI ini juga menyebut lakon Wahyu Cakraningrat yang diangkat dalam wayangan ini memiliki makna tentang karakter pemimpin yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia. Yakni bagaimana wahyu tentang kepemimpinan itu hanya bisa hadir pada sosok satria yang rendah hati, sosok satria yang tidak memiliki ambisi kekuasaan, sosok satria yang dikawal oleh Punokawan.
Dalam lakon ini, ada tiga sosok satria yang disebutkan. Raden Lesmono Mandrakumara, Raden Sombo Putro dan Raden Abimanyu. Hasto menjabarkan, karakter yang berbeda-beda, tapi pada akhirnya wahyu itu hanya bisa diterima oleh pemimpin pilihan terbaik.
“Karakter (calon pemimpin) yang berbeda-beda, tapi yang memiliki keteguhan jiwa, kerendahan hati, dan tidak menempatkan kekuasaan sebagai ambisi dan itu yang dapat menerima wahyu,” jelas Hasto.
Ia pun menyebut bagaimana wahyu kekuasaan juga bisa berpindah-pindah, dari sosok satu ke sosok yang lainnya, sesuai dengan amal perbuatan. Sehingga pada akhirnya, hanya yang bersifat, bersikap, dan bertindak ksatrialah yang menerima wahyu sejati.
“Wahyu berpindah dari sosok yang kemudian sejak kecil dimanja, sosok yang kemudian sangat sombong kemudian berpindah-pindah, dan akhirnya berdiam pada sosok satria yang menempatkan dedikasi pada bangsa dan negara,” tandasnya.
Ketika ditanya, apakah lakon Wahyu Cakraningrat ini sengaja disiapkan untuk menggambarkan dinamika politik saat ini? Hasto menegaskan bahwa niatan itu tidak ada. Karena penyiapan lakon wayangan ini sudah dirancang sejak 2 bulan yang lalu. Sehingga saat itu, ketika para dalang mengusulkan Wahyu Cakraningrat, tidak diniatkan ada relevansinya dengan dinamika politik nasional saat ini.
“Tapi ternyata dengan apa yang terjadi saat ini, ini menjadi suatu refleksi kehidupan tentang makna kekuasaan itu, tentang makna wahyu yang hanya bisa berdiam dalam diri seorang pemimpin apabila pemimpin ini betul-betul menjalankan kepemimpinannya untuk rakyat bangsa dan negara,” papar Hasto.
“Ketika kepemimpinannya ini disalahgunakan untuk kepentingan yang lebih sempit, untuk kepentingan pribadi, apalagi dengan kesombongan, maka wahyu itu bisa berpindah,” imbuhnya.