[Foto: Tampak saat suasana diskusi di Bakoel Coffe, Tjikini, Menteng, Jakarta Pusat, Ist]
Jakarta|LIRATV -BPA (bisphenol-A) adalah bahan kimia yang ditambahkan ke banyak produk komersial, termasuk wadah pangan (makanan/minuman) dan produk kebersihan. BPA pertama kali ditemukan pada tahun 1890-an, di mana kemudian pada tahun 1950-an para ahli kimia menyadari bahwa bahan kimia ini dapat dicampur dengan senyawa lain untuk menghasilkan plastik polikarbonat yang kuat dan tangguh. Sehingga kini plastik yang mengandung BPA biasanya digunakan sebagai wadah makanan, botol minum atau botol susu bayi dan barang lainnya. BPA juga umum digunakan untuk membuat resin epoxy yang dimanfaatkan sebagai lapisan dalam wadah makanan kaleng guna untuk menjaga agar logam tidak berkarat.
Sebagai bahan kimia adalah material B3 (bahan berbahaya dan beracun), mengingat karena sifat, konsentrasi dan/atau jumlahnya baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, membahayakan lingkungan hidup, kesehatan serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain. Amalia S Bendang, Ketua Harian Net Zero Waste Management Consortium menyatakan, “Berbagai publikasi ilmiah mutakhir menunjukkan berbagai dampak fatal akibat toksisitas BPA pada kelompok dewasa dan usia produktif antara lain dapat mempengaruhi fertilitas, menyebabkan keguguran dan komplikasi persalinan, obesitas, dan berbagai penyakit metabolik. Sedangkan pada kelompok usia anak-anak dapat menyebabkan depresif, ansietas, perilaku anak menjadi hiperaktif, emosional tidak stabil, dan kekerasan yang berpengaruh terhadap dopamine, serotonin, acetylcholine, dan thyroid”.
Sementara itu, saat ini kita sangat tergantung pada produksi galon plastik keras dengan tipe Polycarbonates (PC) yang mengandalkan bahan kimia Bisphenol A atau yang lebih sering disingkat BPA. Bahan kimia BPA memiliki potensi bahaya residu dari proses luluhnya partikel tersebut, di mana residu ini dapat menyebabkan gangguan kesehatan sebagaimana disebutkan di atas. Ketergantungan kita pada gallon PC ber-BPA ini tergambar pada produksi air minum kemasan pada tahun 2021 yang telah mencapai 30 miliar liter dengan nilai penjualan sebesar 48 triliun Rupiah. Krisis air bersih adalah biang masalahnya.
Berbagai masalah pencemaran dan kekeringan telah menjadi penyebab krisis air bersih ini. Masalah ini telah menimpa berbagai wilayah Indonesia, terutama wilayah-wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Sulitnya mencari air bersih serta tuntutan kebutuhan akan air bersih untuk keperluan sehari-hari, terutama untuk kebutuhan minum, telah mendorong masyarakat Indonesia mengadopsi kebiasaan untuk membeli air minum kemasan. Dari waktu ke waktu, kebiasaan ini sudah menjadi ketergantungan yang melekat sebagai kebutuhan pokok masyarakat padat penduduk, seperti Jakarta. Menurut data studi mutakhir kesehatan air minum rumah tangga yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan ditemukan 4 dari 10 rumah tangga di Indonesia mengonsumsi air minum dalam kemasan, baik dalam bentuk kemasan galon kemasan botol. Angka tersebut tiga kali lipat lebih besar dibandingkan persentase rumah tangga yang mengandalkan air perpipaan untuk memenuhi kebutuhan air minumnya sehari-hari.
Dari tiga segmen air kemasan bermerek, penjualan air minum kemasan botol tercatat sebesar Rp 22,6 triliun, disusul dengan air minum kemasan galon sebesar Rp 20,1 triliun, dan air minum dalam kemasan gelas sebesar Rp 4,8 triliun. Statistik industri menyebutkan terdapat sekitar 1,17 miliar/tahun galon beredar di pasar, di mana 80% dari galon bermerek yang beredar di pasar merupakan galon kemasan dengan tipe plastik Polycarbonates (PC), sedangkan sisanya merupakan galon kemasan plastik dengan tipe Polyethylene terephthalate (PET). “Kita perlu asupan air minum yang bebas BPA, apalagi bagi kita yang punya aktivitas berlebih seperti melakukan perjalan dengan berjalan kaki dan bersepeda dalam kegiatan sehari-hari”, kata Alfred Sitorus, Koordinator Koalisi Pejalan Kaki.
Prinsip kehati-hatian (precautionary principle) mewajibkan untuk melakukan pencegahan atas kemungkinan terjadinya risiko tertentu termasuk bagi anak-anak gererasi bangsa sebagai disebutkan di atas. “Guna menerapkan prinsip kehati batian dalam konteks potensi kontaminasi unsur/ senyawa B3 (baban beracun dan berbahaya) oleb BPA pada AMDK Polycarbonates ini, maka produsen AMDK wajib melabeli Berpotensi mengandung BPA’ pada kemasan AMDK produknya, sambil kita bergerak cepat mencapai status BPA Free pada berbagai kemasan pangan kitd”, demikian penegasan Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif KPBB. Tentu langkah ini adalah demi kesehatan kita, terutama penciptaan daya saing anak-anak generasi bangsa.(Bar)