Jakarta, LiraTV.idย – Pernyataan Selamat Ginting yang menyebut Presiden Prabowo Subianto “pasti” akan mengganti Kapolri bulan depan patut dikritisi dengan tajam. Alih-alih memberi pencerahan berbasis fakta dan kerangka hukum, klaim tersebut lebih menyerupai spekulasi politik yang dapat menyesatkan publik.
Demikian disampaikan oleh Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi.
“Kritik ini penting, sebab dalam konteks negara hukum, isu pergantian pejabat tinggi negara bukanlah perkara opini bebas tanpa dasar, melainkan harus tunduk pada regulasi, konstitusi, serta kebutuhan obyektif lembaga,” kata Haidar Alwi, Jumat (12/9/2025).
Pertama, dari sisi dasar hukum dan prosedural, penggantian Kapolri diatur jelas dalam Undang-Undang Kepolisian dan mekanisme politik di DPR. Presiden memang memiliki hak prerogatif untuk mengusulkan calon Kapolri, tetapi prosesnya tidak bisa diputuskan hanya berdasarkan rumor atau prediksi.
“Klaim bahwa bulan depan “pasti” ada pergantian Kapolri tanpa landasan hukum maupun sinyal resmi dari pemerintah menimbulkan kesan seolah pengelolaan jabatan Kapolri hanyalah transaksi politik jangka pendek, padahal posisinya krusial bagi stabilitas keamanan nasional,” tutur Haidar Alwi.
Kedua, dari aspek stabilitas politik dan keamanan, isu penggantian Kapolri yang digulirkan secara spekulatif justru berpotensi memicu kegaduhan. Polisi adalah garda terdepan penegakan hukum dan keamanan dalam negeri.
“Menghembuskan kabar pergantian tanpa bukti valid hanya akan menciptakan ketidakpastian di tubuh institusi Polri maupun di mata publik. Alih-alih fokus bekerja, jajaran kepolisian bisa terdistraksi oleh rumor politik yang sama sekali tidak produktif,” ujar Haidar Alwi.
Ketiga, pernyataan pengamat tersebut menunjukkan kelemahan mendasar dalam integritas analisis publik. Seorang pengamat idealnya menyajikan kajian berbasis data, indikator kinerja, maupun perkembangan objektif di lapangan. Jika benar ada wacana penggantian, seharusnya dibarengi argumentasi rasional.
“Apakah karena kinerja Kapolri menurun, adanya evaluasi obyektif dari Presiden, atau faktor hukum yang menuntut perubahan? Tanpa dasar itu, analisis berubah menjadi sekadar sensasi untuk mencari perhatian media,” jelas Haidar Alwi.
Keempat, dari perspektif komunikasi politik Presiden Prabowo, klaim sepihak seperti ini justru kontraproduktif. Prabowo sejak awal pemerintahannya menekankan pentingnya stabilitas, kesinambungan, dan konsistensi dalam menjalankan pemerintahan.

“Jika Presiden diam-diam mempersiapkan kebijakan strategis, maka yang sahih hanyalah pernyataan resmi dari Istana, bukan opini pengamat yang bersandar pada spekulasi,” jelas Haidar Alwi.
Menurutnya, jika rumor penggantian Kapolri terus digulirkan tanpa dasar, terdapat sejumlah risiko politik serius.
Pertama, erosi kepercayaan publik. Publik dapat melihat pemerintah seolah-olah tidak solid dan selalu diguncang isu pergantian pejabat. “Hal ini melemahkan legitimasi Presiden sekaligus menciptakan citra ketidakstabilan yang merugikan,” kata Haidar Alwi.
Kedua, delegitimasi institusi Polri. Ketika isu pergantian Kapolri dipublikasikan tanpa konfirmasi resmi, wibawa Kapolri yang sedang menjabat bisa terganggu. Ini menimbulkan kesan bahwa Kapolri hanya โpenjaga kursi sementaraโ yang setiap saat bisa diganti. “Padahal Polri membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan otoritatif untuk menjaga kepercayaan publik,” sebut Haidar Alwi.
Ketiga, eksploitasi oleh oposisi atau kelompok berkepentingan. Isu liar semacam ini dapat dipelintir oleh pihak tertentu untuk menggiring opini publik bahwa Presiden tidak memiliki kontrol penuh atas pemerintahannya. “Bahkan, rumor dapat dipakai untuk memecah belah antara Presiden, DPR, dan Polri,” tegas Haidar Alwi.
Keempat, distraksi terhadap agenda prioritas. Alih-alih publik membahas substansi kerja pemerintah dalam bidang ekonomi, kesejahteraan, dan keamanan, ruang diskusi publik justru tersita oleh gosip politik. “Ini melemahkan fokus masyarakat sekaligus mengaburkan capaian nyata pemerintah,” imbuh Haidar Alwi.
Oleh karena itu, klaim bahwa Presiden Prabowo pasti akan mengganti Kapolri bulan depan bukan saja lemah secara metodologis, tetapi juga berbahaya secara politik. Publik berhak mendapatkan analisis yang berimbang dan akurat, bukan sekadar rumor yang memecah konsentrasi dan merusak kepercayaan terhadap institusi negara.
“Dalam negara hukum yang sehat, pergantian pejabat tinggi haruslah dilihat sebagai keputusan strategis berbasis kinerja dan kebutuhan nasional, bukan sensasi politik musiman,” pungkas Haidar Alwi.