Oleh: Ir. R Haidar Alwi, MT. (Pemerhati Bangsa/Pendiri Haidar Alwi Institute)
KERUSUHAN yang terjadi pada Agustus lalu menyisakan ironi besar dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Pemicunya jelas: DPR naik gaji dan berjoget-joget hingga viral. Rakyat kemudian protes tapi ditanggapi DPR dengan pernyataan dan sikap yang kontroversial.
Kemarahan rakyat tak terbendung lagi. Suara ketidakpuasan yang sebelumnya disampaikan dengan wajar di ruang demokrasi berubah menjadi kerusuhan yang menelan korban jiwa.
Alih-alih DPR ikut bertanggung jawab, sorotan publik justru bergeser sepenuhnya ke Polri. Muncul tuntutan ganti Kapolri dan institusi Polri harus direformasi. Seakan-akan aparatlah yang menjadi biang dari seluruh peristiwa. Sedangkan DPR sebagai pemicu justru tak tersentuh.
Fenomena ini menyingkap pola yang lebih dalam. Kerusuhan Agustus tidak murni lahir dari ledakan kemarahan spontan rakyat, melainkan bagian dari skenario politik yang lebih luas. Narasi yang seharusnya menghantam DPR tiba-tiba diarahkan untuk menjatuhkan Polri.
Tragedi tewasnya pengemudi ojol dijadikan katalis yang dipelintir menjadi senjata, sehingga framing publik diarahkan untuk menyalahkan aparat. Polri dipaksa duduk di kursi Terdakwa, padahal pemicu keresahan sejak awal tidak berada di tangan mereka.
Perguliran isu ini melibatkan aktor politik dengan kepentingan berlapis. Sebagian elit diduga sengaja mengalihkan kemarahan rakyat agar legitimasi mereka tidak hancur. Oposisi politik memanfaatkan momentum untuk mengguncang stabilitas pemerintahan dengan menargetkan institusi keamanan negara.
Bahkan kelompok kepentingan ekonomi yang terganggu oleh ketegasan Polri dalam menindak kejahatan terorganisir mungkin ikut bermain, berharap Polri yang dilemahkan akan membuka kembali ruang bagi bisnis ilegal mereka. Semua kepentingan ini bertemu dalam satu titik: menjadikan Polri sebagai sasaran tumbal.
Jika skenario melemahkan Polri berhasil, konsekuensinya akan sangat serius. Runtuhnya legitimasi Polri akan menciptakan kekosongan otoritas dalam bidang keamanan. Kepercayaan masyarakat yang hancur akan mendorong meningkatnya tindakan main hakim sendiri, konflik horizontal, hingga kriminalitas yang sulit dikendalikan.
Pemerintah pun akan kehilangan instrumen penting untuk menjaga stabilitas, membuka celah bagi oposisi maupun kekuatan asing untuk menekan negara. Lebih jauh lagi, menjatuhkan Polri melalui tekanan massa akan menciptakan preseden berbahaya: bahwa institusi vital negara dapat digulingkan dengan memanfaatkan tragedi dan manipulasi opini publik.
Namun, tragedi Agustus juga bisa menjadi momentum kebangkitan Polri. Agar tidak terjebak dalam pusaran delegitimasi, Polri harus memperkuat diri di dua sisi sekaligus: internal dan eksternal.

Transparansi dalam komunikasi publik menjadi kunci untuk melawan framing. Setiap kejadian harus dijelaskan dengan jujur โโdan faktual, agar masyarakat tidak mudah diseret ke dalam lingkaran opini jahat. Perbaikan internal juga harus dijalankan secara nyata, terutama dalam prosedur pengamanan aksi massa dan peningkatan profesionalisme anggota.
Selain itu, Polri harus membangun jaringan sosial-politik yang sehat dengan masyarakat sipil, akademisi, tokoh agama, dan komunitas. Dengan dukungan sosial yang kuat, upaya delegitimasi akan sulit berkembang menjadi narasi dominan.
Di sisi kepemimpinan, Kapolri dan jajaran harus tampil dengan integritas: tegas, rendah hati, dan berani bertanggung jawab. Figur yang kuat akan memperkuat wibawa institusi di tengah krisis.
Polri juga harus menyiapkan daya tahan institusional terhadap guncangan politik. Intelijen yang kuat, sistem deteksi dini terhadap rekayasa isu, serta fondasi etika dan profesionalisme yang kokoh akan membuat Polri tidak mudah diprovokasi atau dimanfaatkan.
Dengan langkah-langkah ini, Polri tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat serta mengokohkannya sebagai pilar stabilitas negara.
Kerusuhan Agustus jelas menyimpan luka, tetapi juga membawa pelajaran penting: bahwa opini publik bisa digiring, tragedi bisa dipelintir, dan institusi vital bisa dijadikan sasaran tumbal.
Hanya dengan memperkuat legitimasi internal, membangun komunikasi terbuka dengan rakyat, serta menjaga profesionalisme di atas tekanan politik, Polri bisa keluar dari jebakan itu.
Jika berhasil, tragedi yang dirancang untuk menjatuhkan justru akan menjadi momentum untuk memperkuat fondasi Polri sebagai penjaga hukum, pengayom masyarakat, dan benteng stabilitas bangsa.
Jakarta, 1 Oktober 2025