[ Ket. Foto : Dr. Yaredi Waruwu,S.S.,M.S, Ist ]
“Sistem Pemilu Proporsional Tertutup yang rencana nya akan diberlakukan dinilai akan menggangu rencana komprehensif dari berbagai aspek geopolitik dalam menghadapi pemilu serentak 2024”
Jakarta|LIRATV – Seiring dengan adanya gugatan undang-undang pemilu yang saat ini berproses di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait wacana Pemilu 2024 diharapkan kembali ke Sistem Proporsional Tertutup atau coblos partai, yang belakangan ini lagi ramai diperbincangkan.
Cendikiawan muda, Dr. Yaredi Waruwu,S.S.,M.S. salah satu kalangan Akademisi yang juga dosen di beberapa universitas angkat bicara mengenai Sistem Proporsional Tertutup.
Menurutnya, wacana Pemilu 2024 untuk kembali ke sistem proposional tertutup atau persisnya mencoblos partai ini tidak sejalan dengan semangat reformasi dan demokrasi.
Dia menilai, sistem proporsional terbuka telah menunjukkan semangat bahwa rakyat ditempatkan di posisi tertinggi. Kedaulatan rakyat diatas kepentingan pribadi dan golongan.
Oleh karena nya, dia dengan tegas mengatakan menolak sistem mencoblos Partai, “Tolak sistem pemilu proporsional tertutup, sebab rakyat tidak lagi dijadikan legitimasi,” ujarnya.
“Sah-sah saja mengajukan judicial review karena itu hak konstitusional setiap warga negara. Tetapi spiritnya yang harus diperhatikan. Sepertinya, terkesan sangat mendadak dan terburu-buru. malah turut mengasumsikan bahwa rakyat tidak lagi dijadikan basis legitimasi seseorang terpilih,” ujar Pria kelahiran Nias-Sumatera Utara ini kepada Redaksi Media, Senin (30/1/2023).
Sistem proporsional tertutup yang diharapkan akan diputuskan oleh MK, sistem ini menurutnya sudah barang tentu memberikan jarak antara rakyat dan wakil rakyat terpilih.
Dia bahkan menilai, sistem ini telah mengebiri semangat keadilan berdemokraksi, yang mana setiap orang berhak ikut terlibat dan terpilih dalam kontestasi politik, juga keterpilihan dan legitimasi diberikan oleh rakyat berdasarkan figur yang diyakini dan dipilihnya.
Ia menilai bahwa hemat pembiayaan yang juga dilayangkan oleh pihak-pihak yang turut mendukung dan memberikan tekanan di tengah gugatan terhadap undang-undang di MK, amat tidak dapat dipertanggungjawabkan.
“Persolan pembiayaan telah disepakati dan diatur bersama jauh-jauh hari sebelumnya, ini artinya negara sudah punya perhitungan terhadap persoalan ini dan sudah semestinya siap akan konsekuensi yang telah disepakati tersebut,” bebernya
Dia berharap setiap pihak jangan memperkeruh sistem demokrasi yang selama ini sudah berjalan dengan baik.
“Jika kita ingin mengubah sistem yang selama ini telah dianut, semestinya kita juga harus mempertimbangkan apa yang menjadi kehendak masyarakat, tidak bisa seenaknya,” tegasnya.
Menurutnya, pemberlakuan sistem proporsional tertutup atau coblos partai yang akan didorong untuk diterapkan ini, maka demokrasi yang tengah didorong ini cenderung bersifat monopoli dan sewenang-wenang. Demokrasi mengedepankan kehendak rakyatnya, Jika kehendak rakyat sudah diabaikan maka yang terjadi adalah kemunduran kita berdemokrasi.
“Saya perlu mengingatkan kembali bahwasanya kita berpartai sama artinya dengan kita memanusiakan
manusia. sehingga tidak bisa kemudian menguntungkan segelintir orang dan mengabaikan juga segelintir orang, apalagi ini mengabaikan banyak orang,” pungkasnya.
Sehingga bilamana sistem proporsional mencoblos partai ini dipaksakan untuk kembali diberlakukan, maka itu sama saja kita memutar jarum untuk menyatakan sistem Orde Baru adalah sistem yang terbaik.
Padahal kita sudah mengugatnya dan meninggalkannya di jauh hari, sudah barang tentu implikasinya terhadap sistem demokarsi kita sudah bisa ditebak, bahwa akan kembali rakyat diabaikan, monopoli dan ke sewenang-wenangan dalam berkuasa akan kembali menguat
“Sehingga saya pribadi sangat menolak situasi politik seperti ini, berharap MK tidak mengabulkan gugatan tersebut,” pungkasnya.
Sebelumnya, wacana pemilu sistem proporsional tertutup menjadi perdebatan pascamunculnya gugatan uji materi terhadap Pasal 168 Ayat (2) Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang dimohonkan sejumlah warga negara ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Oleh karena nya, delapan dari sembilan partai politik (parpol) di DPR menyatakan sikap menolak pemilihan umum (pemilu) dengan sistem proporsional tertutup.
Kedelapan parpol itu yakni Partai Gerindra, Golkar, Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Singkatnya, Delapan partai tersebut berargumen, sistem proporsional terbuka yang diterapkan di pemilu Indonesia saat ini merupakan kemajuan demokrasi sehingga tak seharusnya diganti.
Sebaliknya, sistem pemilu proporsional tertutup dinilai sebagai kemunduran demokrasi. Pasalnya, rakyat tak bisa memilih langsung calon anggota legislatif (caleg) sebagaimana sistem pemilu proporsional terbuka. Dalam sistem pemilu proporsional tertutup, rakyat hanya dapat memilih parpol. Sementara, caleg terpilih ditunjuk oleh partai
Sistem pemilu proporsional terbuka merupakan pilihan tepat. Sistem ini sudah diterapkan pada empat kali pemilu di Tanah Air yakni tahun 2004, 2009, 2014, dan 2019.(Bar)